Jumat, 12 Mei 2017

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN TEKNIK PELESTARIAN PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DALAM MENINGKATKAN POPULASI PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM PULAU SANGALAKI KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR



LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
TEKNIK PELESTARIAN PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DALAM MENINGKATKAN POPULASI PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM PULAU SANGALAKI KABUPATEN BERAU
KALIMANTAN TIMUR






MUHAMMAD SYAHRIL
13542411000456





PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
SEKOLAH TINGGI PERTANIAN KUTAI TIMUR
SANGATTA
2017

HALAMAN PENGESAHAN
Judul                           : Teknik Pelestarian Penyu Hijau (Chelonia Mydas) Dalam                                          Meningkatkan Populasi Penyu Hijau (Chelonia Mydas) Di                              Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Sangalaki                                                 Kabupaten Berau Kalimantan Timur
Laporan                      : Sebagai Salah Satu Syarat untuk Kelulusan Praktek Kerja                                         Lapangan (PKL) Sekolah Tinggi Pertanian Kutai Timur
Program Studi             : Ilmu Kelautan
Nama                           : Muh. Syahril                        
Nim                             : 13.542411.00.0456







Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing,




Suprianto, S.Pi.,M.Si
NIDN:1125087702






KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.                
            Teriring puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunianya saya selaku penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan yang dilaksanakan Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur dari Tanggal 11 Januari sampai dengan 09 Februari 2017.
Pada kesempatan ini juga, saya mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada :
  1. Bapak Imanuddin, S.Pi.,MP, selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Kutai Timur, yang telah memberikan izin kepada kami melaksanakan Praktek Kerja Lapangan
  2. Bapak Suprianto, S.Pi.,MP selaku dosen pembombing yang telah membimbing dan membantu dalam melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapangan
  3. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur yang telah memberikan izin kepada kami untuk melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapangan
  4. Bapak Aganto Seno,S.Si,M.Sc Selaku Kepala Seksi Kawasan Konservasi  (SKW)  I Berau, yang telah memberikan kesempatan dalam kegiatan Praktek Kerja Lapangan
  5. Para Staff  Seksi Kawasan Konservasi  (SKW)  I Berau yang telah memberikan pengalaman, ilmu pada saat melaukan kegiatan Praktek Kerja Lapangan
  6. Dan semua pihak yang turut membantu dalam peyelesaian kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN)  ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Saya menyadari bahwa penyusunan laporan hasil Praktek Kerja Lapangan ini tidaklah sempurna, karena kesempurnaan itu haya milik Allah Yang Maha Esa dan untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan.
Billahitaufiq Walhidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Sangatta, 11 April 2017
                        Mahasiswa



                                                                                                Muhammad Syahril
                                                                                                13542411000456






DAFTAR ISI
Halaman Judul...................................................................................................... i
Halaman Pengesahan........................................................................................... ii
Kata Pengantar................................................................................................... iii
Daftar Isi............................................................................................................... v
Daftar Tabel....................................................................................................... vii
Daftar Gambar.................................................................................................. viii
I.    Pendahuluan
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Tujuan Praktek Kerja Lapangan................................................................. 4
1.3 Manfaat Praktek Kerja Lapangan.............................................................. 4

II. Tinjauan Pustaka
2.1  Taksnomi Penyu hijau (Chelonia mydas)..................................................... 5
2.2  Morfologi Penyu.......................................................................................... 5
2.3  Siklus Penyu................................................................................................ 7
2.4  Habitat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia Mydas)...................................... 9
2.5  Karakteristik Biofisik Tempat Peneluran Penyu........................................ 13
2.6  Tingkah Laku Penyu Hijau (Chelonia Mydas) saat akan bertelur.............. 18
2.7  Pemindahan Telur dari Sarang Alami ke Sarang Semi Alami.................... 21
2.8  Penanaman Telur........................................................................................ 22
2.9  Upaya Konservasi...................................................................................... 22
2.10 Peraturan Mengenai Pengelolaan Penyu.................................................. 25
2.11 Permasalahan Terkait Pengelolaan Penyu hijau....................................... 26

III. Metedologi
3.1 Waktu dan tempat..................................................................................... 35
3.2 Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)...................................... 37
3.3  Alat dan Bahan.......................................................................................... 39
3.4 Jenis Kegiatan Praktek Kerja Lapangan.................................................... 40

IV. Hasil Dan Pembahasan
4.1 Hasil........................................................................................................... 44
4.2 Pembahasan............................................................................................... 48

V. Kesimpulan Dan Saran
5.1 Kesimpulan................................................................................................ 53
5.2 saran........................................................................................................... 53
Daftar Pustaka
Lampiran




 
 












DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kondisi hidrologi dan hidrooceanografi di Pulau Sangalaki.................. 37
Tabel 2. Alat dan bahan kegiatan Praktek Kerja Lapangan................................. 39
Tabel 3. Hasil monitoring pendaratan penyu........................................................ 44
Tabel 4. Data relokasi telur penyu........................................................................ 45






























DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Morfologi Penyu hijau.......................................................................... 7
Gambar 2. Siklus Reproduksi Penyu Laut............................................................. 8
Gambar 3. Habitat peneluruan penyu................................................................... 13
Gambar 4. Tahapan Penyu bertelur...................................................................... 20
Gambar 5. Peta Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki......................................... 35
Gambar 6. Sturktur BKSDA Kalimantan Timur.................................................. 38
Gambar 7. Peta potensi pendaratan penyu dan letak sector di Pulau Sangalaki.. 40
Gambar 8. Grafik hasil monitoring pendaratan penyu pada kegiatan PKL......... 48
Gambar 9. Grafik persentase jumlah relokasi telur penyu.................................... 50












I.    PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung (DKP, 2009).
Penyu juga telah terbukti sebagai hewan yang sangat rumit untuk dikelola. Hal ini diantaranya disebabkan oleh pertumbuhannya yang lambat, lambatnya usia matang kelamin, perbiakan yang tidak terjadi setiap tahun, tingkat kematian yang tinggi pada penyu muda, penyebaran tukik di laut, migrasi yang jauh antara tempat mencari makan dan tempat peneluran, kebiasaan untuk bertelur di lokasi yang sama, serta ketergantungan perbiakan terhadap suhu tertentu (Limpus, 1997).
Ada tujuh spesies penyu yang masih hidup sampai saat ini: penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), penyu Hijau (Chelonia mydas), penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), penyu Tempayan (Caretta caretta), penyu Pipih (Natator depressus), penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu Kemp’s Ridley (Lepidochelys kempi) (Harless dan Morlock, 1979). Namun hanya enam spesies yang disebut pertama yang ditemukan di perairan Indonesia. Spesies yang paling banyak ditemukan di perairan Indonesia adalah penyu Hijau (Chelonia mydas), yang banyak tinggal di habitat terumbu karang (Tomascik dkk., 1997)
Salah satu habitat peneluran dan pakan penyu Hijau (Chelonia mydas) terbesar di Indonesia adalah di Kepulauan Derawan. Penyu Hijau yang bertelur di kepulauan ini diperkirakan berjumlah antara 4.000 – 5.500 ekor per tahun (Tomascik dkk., 1997). Namun menurut Spotila (2004), populasinya sudah berubah menjadi hanya sekitar 1.800 ekor per tahun penyu betina yang bertelur di kepulauan ini. Kepulauan yang terletak di Kabupaten Berau – Kalimantan Timur ini memiliki beberapa lokasi peneluran bagi penyu Hijau, di antaranya adalah pulau Sambit, pulau Bilang-bilangan, pulau Maratua, pulau Derawan, pulau Mataha, pulau Balikukup, pulau Belambangan, dan pulau Sangalaki.
Penempatan sarang, bagi hewan yang meletakkan telurnya seperti penyu, mempunyai konsekuensi penting bagi kesuksesan reproduksinya. Menurut Bjorndal dan Bolten (1992), ketika seekor penyu muncul dari laut ke pantai untuk bersarang, dia biasanya memasuki lingkungan heterogen yang relatif luas, sehingga dia harus memilih lokasi bersarangnya. Tempat dia bersarang dapat mempengaruhi kesuksesan dan kebugaran reproduksinya dilihat dari kelangsungan hidupnya dan kelangsungan hidup anakannya, dan rasio jenis kelamin dari anakannya.
Pulau sangalaki sudah ditetapkan sebagai Taman wisata alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 604/Kpts/Um/8/1982 tanggal 19 Agustus 1982, dengan luas daratan dan perairannya seluas ± 280 Ha. Secara geografis terletak antara 118024′23″-118025′26″ Bujur Timur dan 25′14″-26′5″ Lintang Utara. Secara administratif pemerintahan kawasan ini termasuk Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Dati II Berau, Propinsi Kalimantan Timur.
Pulau Sangalaki merupakan salah satu habitat peneluran penyu hijau yang utama di Kepulauan Derawan. Penyu hijau bertelur sepanjang tahun di pulau dengan luas daratan sekitar 15 hektar ini. Menurut Adnyana dkk. (2007), total pendaratan dan peneluran di Sangalaki per bulan berturut-turut adalah antara 160 – 1.166 (rata-rata ± SD = 584 ± 234.5) dan  93 – 812 (354 ± 153), dengan aktivitas peneluran tertinggi antara Mei – Oktober dan aktivitas peneluran terendah antara bulan Nopember – April. Populasi pendaratan ini jauh menurun apabila dibandingkan dengan perkiraan total pendaratan penyu di Sangalaki pada tahun 1950-an dan 1970-an (Lindsay dan Watson dalam Adnyana dkk. (2007), yaitu 200 dan 150 ekor penyu per malam. Sementara sensus yang dilakukan oleh sebuah operator selam Sangalaki antara bulan April 1993 sampai bulan Juli 1994 mendapatkan populasi pendaratan penyu per malam yang lebih sedikit (39 ± 9.4) (G.F. Taylor dalam Tomascik dkk., 1997). 
Di pulau sangalaki merupakan tempat penetasan telur penyu secara semi alami yaitu dengan memindahkan telur yang alami ke lubang buatan mirip dengan lubang alaminya, dengan tujuan untuk mencegah terkenanya telur penyu dari pasang surut air laut maupun serangan predator seperti biawak. Dengan cara penetasan secara semi alami adalah untuk mencegah kepunahan penyu dengan upaya pelestarian diharapkan dapat memperbanyak jumlah penyu di dunia dengan itu judul kegiatan yang saya lakukan selama kegiatan Praktek Kerja Lapangan yaitu “Teknik Pelestarian Penyu Hijau (Chelonian Mydas) Untuk Meningkatkan Pelestarian Penyu Hijau (Chelonian Mydas) Di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki Kabupaten Berau Kalimantan Timur”.



1.2  Tujuan Praktek Kerja Lapangan
Adapun tujuan dari Praktek Kerja lapangan  di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki yaitu sebagai berikut :
1.      Mengetahui Habitat Peneluran penyu hijau (Chelonian mydas) dan cara penetasan semi alami telur penyu hijau  (Chelonian mydas) di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki.
2.      Mengetahui teknik pelestarian penyu hijau (Chelonian mydas) di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki.
3.      Mengetahui masalah-masalah serta hambatan yang dihadapi dalam kegiatan pelestarian penyu hijau (Chelonia Mydas) di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki.
1.3  Manfaat Praktek Kerja lapangan
Adapun manfaat dari kegiatan Praktek Kerja Lapangan di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki yaitu :
1.      Mahasiswa mampu menambah pengetahuan tentang bagaimana cara system penetasan telur semi alami dan teknik pelestarian penyu hijau (Chelonia mydas) Di TWA Pulau Sangalaki
2.      Bagi instansi yaitu dapat Menjalin kerja sama dan saling mengenal antara Departemen kerja dan pendidikan, sehingga bisa dijadikan referensi untuk menyiapkan tenaga kerja yang lebih maju dan kompetetif.
3.      Bagi Perguruan Tinggi yaitu memberikan gambaran tentang kesiapan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja yang sebenarnya.


II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Taksonomi Penyu hijau (Chelonia mydas)
Penyu hijau tergolong dalam famili Cheloniidae. Menurut Hirth (1971) dalam Prihanta (2007), taksonomi penyu hijau adalah:
Kingdom       
: Animalia
     Filum            
    : Chordata
         Class           
        : Reptilia
            Ordo                 
              : Testudinata
                Family                 
                    : Cheloniidae
                     Genus          
                            : Chelonia
                         Spesies            
                                   : Chelonia mydas   

Chelonia mydas Linn merupakan nama ilmiah yang paling umum dipergunakan  bagi penyu hijau. salah satu anonimnya adalah Testudo mydas linnaeus, dan dalam dunia internasional spesies ini lebih dikenal sebagai  green turtle berdasarkan warna lemak pada jaringan tubuhnya (Hirth, 1971) dalam Prihanta (2007).
2.2  Morfologi Penyu
Penyu adalah satu-satunya spesies reptile laut yang terbesar dan berumur panjang yang dapat ditemukan di perairan dunia beriklim tropis, subtropis dan bertemperatur sedang lainnya (Bowen and avise,1996).
Tujuh spesies penyu di dunia terdiri dari dua keluarga, yaitu chelonidae dan demochelydae yang merupakan satu-satunya anggota keluarga penyu dengan ukuran tubuh terbesar. Tujuh spesies tersebut adalah Penyu hijau atau Green Sea Turtle (Chelonia mydas), Penyu sisik atau Hawksbill Turtle (Eretmochelys imbricata), Penyu belimbing atau Leatherback Turtle (Dermochelys cariacea), Penyu lekang atau Olive Ridley Turtle, (Lepidochelys olivacea), dan Penyu tempayan atau Loggerhead Turtle (Caretta caretta), Penyu pipih atau flatback turtle (Natator depressa). (Eckert et al., 1999).
Penyu hijau memiliki tempurung punggung (karapas) yang terdiri dari sisik-sisik yang tidak saling tumpang tindih. Warna karapas pada bagian dorsal tukik penyu hijau berwarna hitam, pada saat remaja warnanya menjadi coklat dengan radiating streak (bercak kekuningan yang menyebar) dan warnanya menjadi sangat bervariasi ketika sudah dewasa (Pritchard dan Mortimer, 1999).  
Warna pada bagian centralnya (plastron) pada tukik adalah putih dan menjadi kekuningan pada saat dewasa. Morfologi diagnostik yang membedakan Penyu hijau dengan penyu jenis lainnya adalah terdapatnya sepasang sisik prefrontal dan empat buah sisik postorbital pada area kepalanya (Adnyana dkk., 2003). Penyu hijau memiliki panjang lebih dari 0,9 m sampai 1,5 m dengan berat mencapai 391,95 kg, dan memiliki cakar yang tajam pada kaki depannya (Prihanta, 2007). Pada masing masing flipper penyu terdapat satu kuku dan flipper bagian depan lebih panjang dari pada bagian  belakang (Pritchard dan  Mortimer, 1999). 
Tukik penyu hijau tergolong pemakan segala (omnivora) dengan memakan kepiting kecil, ubur-ubur, dan sejenis karang lunak (sponge), selain mengkonsumsi alga hijau dan lamun. 










Coastal

Vertebral

Flipper depan

Post orbital

Karapas


Plastron

Pre frontal

Flipper
belakang

Temapat Pemasangan tag

Gambar 1. Morfologi Penyu hijau (Sumber: Miller, 1997)


2.3  Siklus penyu
Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama dengan penyu lainnya. Secara umum siklus hidup penyu terbagi atas pantai peneluran, ruaya pakan dan ruaya kawin. Dalam mencapai dewasa kelamin penyu mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk mencapai usia produktifnya. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh, yaitu bisa mencapai hingga 3000 km dari ruaya pakan ke pantai peneluran. Pada umur sekitar 20-50 tahun, penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di sekitar daerah kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas pantai satu atau dua bulan sebelum peneluran pertama di musim tersebut (Pedoman Teknis Konservasi Penyu, 2009).
Moll (1979) dalam Nuitja (1985) menjelaskan bahwa, oviposisi berlangsung mulai dari sekali hingga beberapa kali dalam periode setahun. Hal ini bergantung pada beberapa faktor seperti letak lintang (latitude), jenis umur (besar) dan sumber serta kualitas makanan yang dimakannya. Pada umumnya penyu hijau bertelur lebih dari satu kali dalam satu musim bertelur (3-4 kali), dengan interval internesting kira-kira 2 minggu. Setelah selesai bertelur, penyu dewasa akan meninggalkan sarang dan telur-telurnya untuk kembali beruaya mencari makanan untuk kemudian melangsungkan kembali siklus hidupnya di laut.
Tukik yang baru menetas dan keluar dari sarangnya akan langsung bergerak menuju kelaut, karena proses alaminya yang ada berkaitan dengan medan magnet cahaya. Setelah mencapai laut, tukik-tukik itu menuju ke laut lepas hingga mencapai arus samudra dengan cadangan makanan kuning telur yang ada ditubuhnya. Fase awal berkelana ini sering disebut sebagai “tahun yang hilang”, yang lamanya bervariasi sesuai dengan jenis dan populasinya (Dermawan 2009). 
Gambar 2. Siklus Reproduksi Penyu Laut (Sumber: Miller, 1997)

2.4    Habitat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia Mydas)
Habitat merupakan suatu daerah atau lokasi tempat tinggal yang dihuni oleh mahluk hidup, dimana didalamnya memiliki komponen biotik dan abiotik, yakni berupa ruang, lahan, makanan, lingkungan dan mahluk hidup lainnya. Menurut Nuitja (1985) unsur – unsur utama daerah peneluran penyu terdiri dari makro dan mikro habitat. Makro habitat itu sendiri terdiri dari berbagai komposisi pasir, tanah dan formasi hutan pantai. Biasanya hutan pantai yang belum terjamah, kondisinya masih alami dengan pepohonan yang masih lebat.
Penyu banyak memilih pantai berpasir tebal sebagai tempat bertelurnya, pemilihan ini dilakukan atas dasar naluri (Natih, 1989). Bustard (1972)  menyebutkan bahwa penyu hijau memiliki kecenderungan untuk memilih tempat bertelur di daerah pantai yang banyak ditumbuhi vegetasi pohon pandan (Pandanus tectorius) yang lebat, seperti yang terdapat di Pantai Pulau Berhala dan Kepulauan Heron di Australia. Daerah peneluran bagi penyu hijau mempunyai karakteristik tertentu.
Habitat adalah suatu daerah yang ditempati makhluk hidup, memiliki komponen biotik dan abiotik, berupa ruang, lahan, makanan, lingkungan dan makhluk hidup lainnya (Herdiawan 2003). Penyu hidup di dua habitat yang bebeda yaitu habitat darat sebagai tempat peneluran (nesting ground) yang memiliki beberapa karekteristik dan habitat laut sebagai habitat utama bagi keseluruhan hidupnya.
Habitat darat merupakan tempat peneluran (nesting ground) bagi penyu betina. Dalam satu kali musim peneluran penyu akan bertelur tiga kali dengan rata-rata jumlah telur 110 telur (Spotila 2007). Penyu memiliki kecenderungan memilih tempat tertentu sebagai pantai penelurannya. Umumnya pantai penelurannya adalah daratan luas dan landai yang terletak di atas pantai dengan rata-rata kemiringan 30° serta diatas pasang surut antara 30 sampai 80 meter, memiliki butiran pasir tertentu yang mudah digali dan secara naluriah dianggap aman untuk bertelur. Selain itu pantai yang didominasi oleh vegetasi pandan laut memberikan rasa aman tersendiri bagi penyu yang bertelur (Nuitja 1992). Idealnya dalam proses peneluran penyu ada beberapa faktor yang dapat mendukung aktivitas tersebut seperti suasana yang sunyi, tidak terdapat penyinaran dan tidak ada aktivitas pergerakan yang dapat mengganggu penyu menuju pantai (Dharmadi dan Wiadnyana 2008).
Habitat laut merupakan tempat yang utama bagi kehidupan penyu. Perairan tempat hidup penyu adalah laut dalam terutama samudera di perairan tropis, sedangkan tempat kediaman penyu adalah daerah yang relatif agak dangkal, tidak lebih dari 200 meter dimana kehidupan lamun dan rumput laut masih terdapat (Spotila 2004). Daerah yang lebih disukai penyu adalah daerah yang mempunyai batu-batu sebagai tempat menempel berbagai jenis makanan penyu dan berbagai tempat berlindung. Chelonia mydas tergolong herbivora yang mencari makan pada daerah-daerah yang dangkal dimana alga laut seperti Zostera, Chymodocea, Thallasia dan Hallophila masih dapat tumbuh dengan baik (Rebel 1974).
Penyu hijau adalah jenis penyu yang tahan terhadap kisaran suhu yang lebar (eurythermal), meskipun demikian penyu hijau ditemukan lebih aktif bergerak di laut sub tropis bersuhu 18°C - 22°C dan di laut tropis bersuhu 26°C30°C. Penyu hijau pernah ditemukan di Laut Izu (Jepang) pada musim dingin ketika suhu mencapai 13°C. Pada suhu seperti ini, gerakan penyu hijau menjadi lemah (Takeuchi 1983).
Salah satu habitat peneluran dan pakan penyu Hijau (Chelonia mydas) terbesar di Indonesia adalah di Kepulauan Derawan. Penyu Hijau yang bertelur di kepulauan ini diperkirakan berjumlah antara 4.000 – 5.500 ekor per tahun (Tomascik dkk., 1997). Namun menurut Spotila (2004), populasinya sudah berubah menjadi hanya sekitar 1.800 ekor per tahun penyu betina yang bertelur di kepulauan ini. Kepulauan yang terletak di Kabupaten Berau – Kalimantan Timur ini memiliki beberapa lokasi peneluran bagi penyu Hijau, di antaranya adalah pulau Sambit, pulau Bilang-bilangan, pulau Maratua, pulau Derawan, pulau Mataha, pulau Balikukup, pulau Belambangan, dan pulau Sangalaki.
Pulau Sangalaki merupakan salah satu habitat peneluran penyu hijau yang utama di Kepulauan Derawan. Penyu hijau bertelur sepanjang tahun di pulau dengan luas daratan sekitar 15 hektar ini. Menurut Adnyana dkk. (2007), total pendaratan dan peneluran di Sangalaki per bulan berturut-turut adalah antara 160 – 1.166 (rata-rata ± SD = 584 ± 234.5) dan  93 – 812 (354 ± 153), dengan aktivitas peneluran tertinggi antara Mei – Oktober dan aktivitas peneluran terendah antara bulan Nopember – April. Populasi pendaratan ini jauh menurun apabila dibandingkan dengan perkiraan total pendaratan penyu di Sangalaki pada tahun 1950-an dan 1970-an (Lindsay dan Watson dalam Adnyana dkk. (2007), yaitu 200 dan 150 ekor penyu per malam. Sementara sensus yang dilakukan oleh sebuah operator selam Sangalaki antara bulan April 1993 sampai bulan Juli 1994 mendapatkan populasi pendaratan penyu per malam yang lebih sedikit (39 ± 9.4) (G.F. Taylor dalam Tomascik dkk., 1997). 
Penempatan sarang, bagi hewan yang meletakkan telurnya seperti penyu, mempunyai konsekuensi penting bagi kesuksesan reproduksinya. Menurut Bjorndal dan Bolten (1992), ketika seekor penyu muncul dari laut ke pantai untuk bersarang, dia biasanya memasuki lingkungan heterogen yang relatif luas, sehingga dia harus memilih lokasi bersarangnya. Tempat dia bersarang dapat mempengaruhi kesuksesan dan kebugaran reproduksinya dilihat dari kelangsungan hidupnya dan kelangsungan hidup anakannya, dan rasio jenis kelamin dari anakannya.
Penyu memilih daerah untuk bertelur pada dataran yang landai dan tidak terkena pasang. Menurut Nuitja (1992), di pantai Sukamade jumlah sarang yang ditemukan pada zona intertidal hanya sebesar 0,05%, sedangkan selebihnya ditemukan pada zone supratidal yang mencapai 98,64%. Dari sarang yang berada di zone supratidal tersebut, sekitar 25,00% berada di bawah naungan pohon, sedangkan lainnya berada di daerah bebas naungan.
Berikut ini adalah gambar habitat penyu yang paling sering dikunjungi penyu untuk mendarat dan bertelur pada kegiatan Praktek kerja lapangan selama 30 hari di Taman Wisata Pulau Sangalaki.
Gambar 3. Habitat peneluruan penyu

2.5  Karakteristik Biofisik Tempat Peneluran Penyu
A.    Kemiringan Pantai
Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada jumlah penyu yang akan mendarat dan membuat sarang, karena kondisi pantai yang landai dan memiliki pasir yang halus dapat memudahkan penyu menuju daratan untuk mencari lokasi dan membuat lubang sebagai tempat peneluran. Habitat untuk bertelur penyu adalah daratan luas dan landai dengan rata-rata kemiringan 30°, karena semakin curam pantai akan semakin menyulitkan bagi penyu untuk melihat obyek yang lebih jauh di depan karena mata penyu hanya mampu melihat dengan baik pada sudut 150° ke bawah (Dharmadi dan Wiadnyana 2008).  Selain itu penyu biasa meletakkan sarangnya berjarak 30 sampai 80 meter diatas pasang terjauh (Nuitja 1992).
Menurut Dharmadi dan Wiadnyana (2008) penyu menyukai daerah dengan kemiringan 30º untuk bertelur. Kemiringan Pantai Pangumbahan dalam Segara (2008) pada Musim Timur dan Musim Barat masih berada pada kisaran normal, sesuai dengan kesesuaian tempat peneluran penyu pada umumnya. Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada aksesbilitas penyu untuk mencapai daerah yang sesuai untuk bertelur. Semakin curam pantai maka akan semakin besar pula energi penyu yang diperlukan untuk naik dan bertelur.

B.     Besar Butir Pasir
Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur. Semua jenis penyu, termasuk yang hidup di perairan Indonesia, akan memilih daerah tempat bertelur yang khas. Tekstur pasir berhubungan dengan tingkat kemudahan dalam menggali sarang. Pasir, liat dan debu merupakan hasil dari proses pecahan secara alami terhadap batu-batu karang. Penyu hijau pada umumnya memilih pantai yang landai untuk tempat penelurannya dengan susunan sedimen tidak kurang dari 90% berupa pasir dan sisanya adalah debu maupun liat, dengan diameter butiran pasir halus dan sedang (Nuitja 1992).
Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta terletak di bagian atas pantai atau di atas garis pasang tertinggi. Menurut Bustard (1972), pantai berpasir tebal dan berhutan pandan lebat memberikan naluri pada penyu hijau untuk bertelur. Keberadaan vegetasi naungan akan melindungi sarang dari sinar matahari langsung sehingga mengurangi penguapan.

C.    Suhu Pasir
Suhu pasir sangat berpengaruh terhadap proses peneluran dan penetasan penyu, suhu pasir yang terlalu tinggi (>35°C) akan menyulitkan penyu untuk membuat sarang, sedangkan apabila suhu terlalu rendah (<25°C) akan berpengaruh terhadap masa inkubasi dan tingkat keberhasilan penyu menetas (Dharmadi dan Wiadnyana 2008). Pertumbuhan embrio penyu sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 24-33°C dan akan mati apabila diluar kisaran suhu tersebut (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009).
Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan cepat menetas. Penelitian terhadap telur penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir yang berbeda menunjukan bahwa telur yang terdapat pada suhu pasir 32°C menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir 24°C menetas dalam waktu lebih dari 80 hari (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009).
D.    Vegetasi
Penyu hijau memiliki kecenderungan untuk memilih tempat bertelur daerah pantai yang berlatar belakang vegetasi pohon pandan (Pandanus tectorius) yang lebat, seperti terdapat di Pulau Berhala dan kepulauan Heron di Australia (Bustard 1972). Penyu hijau cenderung membuat sarang di bawah naungan pohon pandan laut, karena sistem perakaran pandan laut meningkatkan kelembaban pasir, memberikan kestabilan pada pasir dan memberi rasa aman pada penyu saat melakukan penggalian sarang. Tekstur pasir yang relatif halus, vegetasi pantai yang didominasi oleh jenis tanaman kangkung laut (Ipomea pescaprae) yang merambat, pandan laut (Pandanus tectorius), serta waru (Thespesia populnea) merupakan habitat yang disukai oleh penyu hijau (Chelonia mydas) sebagai lokasi peneluran (Nuitja 1992).
Selain itu menurut Nuitja 1992 kehadiran hutan-hutan yang lebat memberikan pengaruh yang baik terhadap kestabilan populasi penyu yang bertelur. Jika pohon-pohon tumbuh dengan lebat, maka daun-daun yang jatuh lama-kelamaan mengalami proses dekomposisi menjadi partikel-partikel mineral dan langsung hanyut terbawa air ke laut. Proses tersebut berlangsung secara terus menerus sehingga kesuburan perairan dapat tetap terjamin. Kesuburan perairan menjadi kebutuhan biota yang hidup di daerah tersebut, seperti tumbuhnya rumput laut dan tersediaanya invertebrata laut berupa zooplankton, dimana invertebrata laut merupakan makanan yang dibutuhkan oleh populasi penyu hijau yang masih juvenile (tukik).
E.     Pasang Surut
Pasang surut laut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh adanya interaksi antara laut, matahari dan bulan. Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah. Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan pasang rendah disebut rentang pasang surut (tidal range). Kisaran pasang surut adalah perbedaan tinggi air pada saat pasang maksimum dengan tinggi air pada saat surut minimum, rata-rata berkisar antara 1 m hingga 3 m (Nontji, 1987). Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Nilai periode pasang  surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit (Musrifin 2011).
Terdapat tiga tipe dasar pasang surut yang didasarkan pada periode dan keteraturannya, yaitu pasang surut harian (diurnal), tengah harian (semi diurnal) dan campuran (mixed tides). Dalam sebulan variasi harian dari rentang pasang surut berubah secara sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga bergantung pada bentuk perairan dan konfigurasi lantai samudera (Musrifin 2011).
Pengetahuan tentang pasang surut sangat diperlukan dalam transportasi laut, kegiatan di pelabuhan, pembangunan di daerah pesisir pantai, dan pengkajian kehidupan hewan dan tumbuhan. Pasang surut merniliki hubungan yang erat dengan aktivitas peneluran penyu hijau. Penyu hijau menghemat energi pada malam hari dengan cara memanfaatkan air pasang untuk mencapai area yang kering (supratidal) baru kemudian membuat sarang dan bertelur (Segara 2008).
F.     Cuaca
Cuaca adalah keadaan udara pada suatu daerah yang sempit dalam waktu yang relatif singkat. Unsur-unsur dari cuaca meliputi suhu udara, radiasi, tekanan udara, kelembapan udara, keadaan awan, dan curah hujan. Cuaca dan laut memiliki interaksi yang erat karena perubahan cuaca dapat mempengaruhi kondisi laut. Angin sangat menentukan terjadinya gelombang dan arus di perrnukaan laut, sedangkan curah hujan dapat menentukan salinitas air laut. Sebaliknya proses fisis di laut seperti terjadinya air naik (upwelling) dapat mempengaruhi keadaan cuaca setempat (Nontji 1987). 
Tingkah laku bertelur penyu sangat berkaitan dengan faktor cuaca. Menurut Nuitja, di Pangumbahan penyu hijau akan muncul tidak dari hempasan ombak jika angin bertiup kencang, terutama pada bulan punama dan bulan mati. Pada musim barat angin bertiup kencang dan kadang kala disertai dengan badai yang sangat besar. Angin yang kencang menyebabkan ombak menjadi besar dan menerbangkan butiran-butiran pasir dan benda-benda ringan lainnya di sepanjang pantai. Dalam periode itu daerah peneluran akan lebih keras dan lebih sulit untuk digali akibat curah hujan yang tinggi. Kesulitan penggalian dan hujan yang jatuh terus-menerus memberikan pengalaman bagi penyu untuk menunda proses bertelurnya. Dapat disimpulkan bahwa unsur cuaca yang paling berpengaruh terhadap pendaratan penyu adalah curah hujan yang turun di sekitar pantai peneluran penyu (Nuitja 1992).
2.6  Tingkah Laku Penyu Hijau (Chelonia Mydas) saat akan bertelur
Oviposisi (frekuensi kawin) berlangsung mulai dari sekali hingga beberapa kali dalam periode setahun. Penyu hijau betina yang sudah siap untuk bertelur biasanya naik ke pantai dengan susah payah untuk mendapatkan tempat yang aman jauh dari gangguan predator, diatas garis pasang surut kemudian menggali lubang dengan sirip depannya, lubang yang dibuat dangkal sebesar tubuhnya kemudian dengan sirip belakang penyu hijau betina menggali lubang lebih kecil dan dalam untuk menempatkan telurnya (Pedoman tekhnis Konservasi Penyu,2009). 
Jumlah telur berkisar 20 sampai 200 butir tergantung jenisnya. Setelah selesai bertelur penyu hijau betina menutup lubang telur dengan meratakan pasir agar telur tidak diketahui oleh predator lalu penyu hijau betina kembali ke laut dan kurang dari 60 hari telur-telur penyu menetas (Fitriyanto, 2006). Semua jenis penyu laut bertelur lebih dari satu kali dalam periode satu musim. Tahapan bertelur pada berbagai jenis penyu umumnya berpola sama. Tahapan yang dilakukan dalam proses bertelur sebagai berikut :
Gambar 4. Tahapan Penyu bertelur (Tomascik,1997).
Penyu jantan maupun betina mudah ditemukan disekitar pulau tempat si betina bertelur. Di pulau Sangalaki misalnya, penyu betina acapkali teramati sedang beristirahat pada siang hari, sedangkan yang jantan tampak berputar-putar dipermukaan menanti saat tepat untuk menyergap si betina untuk dikawini. Perkawinan terjadi di area terumbu karang di sekitar pulau (Tomascik,1997).
Penyu dalam perkembangbiakannya termasuk binatang ovipar, pembuahan telur berlangsung dalam tubuh induk. Janin yang terkandung di dalam telur yang dikeluarkan induk penyu sepenuhnya berkembang di luar tubuh. Habitat penyu di dasar laut sesuai dengan kemampuannya berjalan jauh. Umumnya penyu mencari makan di daerah dingin dan bertelur di daerah hangat (Nuitja, 1992). Pada saat kawin penyu jantan berada di atas penyu betina dengan cara mencengkeram bahu penyu betina dan dibantu oleh kuku kepas depan. Penyu yang mempunyai bekas cengkeraman di bahunya dipastikan mempunyai telur.
Setelah masa perkawinan penyu jantan kembali di laut sedang penyu betina menuju pantai untuk bertelur. Penyu betina menggali pasir di pantai dengan sepasang tungkai belakangnya untuk membuat lubang sarang telur. Telur disimpan dalam lubang dan ditutup dengan rapi hingga menetas dengan sendirinya. Setelah menyimpan telurnya, penyu betina kembali ke laut. Kurang lebih 7 minggu masa inkubasi telur kemudian menetas dan menjadi tukik (anak penyu). Tukik-tukik ini menuju habitatnya di  laut mengikuti alunan ombak hingga menjadi penyu dewasa. Penyu dewasa ini (penyu betina) akan menuju pantai lagi setelah berpijah dengan penyu jantan, begitu seterusnya (Nuitja, 199). 
Nuitja 1992, juga mengungkapkan Tingkat keberhasilan penetasan telur penyu dipengaruhi 2 (dua) factor, yaitu eksternal (pengaruh lingkungan) seperti suhu sarang, kelembaban sarang dan type substrat serta dampak dari pemangsaan (predator); internal (pengaruh dari keadaan induk penyu) seperti keturunan atau genetic serta umur dari induk.  Dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak hanya belasan tukik (bayi penyu) yang berhasil sampai ke laut kembali dan tumbuh dewasa. Itu pun tidak memperhitungkan faktor perburuan oleh manusia dan pemangsa alaminya seperti kepiting, burung dan tikus di pantai, serta ikan-ikan besar begitu tukik tersebut menyentuh perairan dalam. Tukik mempunyai kemampuan terhadap sinar dan reaksi bumi untuk keluar. Sebelum keluar, tukik berada 3-7 hari di dalam sarang dgn mengkonsumsi kuning telur yg tersisa. Tukik keluar dengan menggaruk-garuk langit-langit sarang hingga ambles dan keluar dgn saling menindih. Setelah di pantai, tukik menuju laut dengan bantuan hempasan gelombang. Selanjutnya tukik berkembang jadi penyu muda hingga penyu dewasa. (Nuitja, 1992)

2.7  Pemindahan Telur dari Sarang Alami ke Sarang Semi Alami 
Metode yang digunakan dalam memindahkan telur adalah metode transinkubasi, yaitu pemindahan telur- telur dari sarang alami ke dalam sarang semi alami. Telur penyu diangkat dari dalam sarang menggunakan tangan setelah diketahui induk selesai bertelur. Tanpa menghilangkan lendir dan pasir yang menempel pada cangkang, telur yang didapat dari masing- masing induk di tempatkan pada wadah (ember) yang berbeda. Telur- telur tersebut kemudian di bawa ke daerah penetasan sarang semi alami permanen yang ternaungi secara penuh, dan lokasi/sector pemidahan telur penyu harus tempat yang aman terhindar dari pasang air laut, predator yang dapat memakan telur maupun dar manusia yang dapat mengambil telur secara sengaja (Alfian, 1989).

2.8  Penanaman Telur 
Silalahi (1990), mengungkapkan bahwa Penanaman telur dilakukan di lokasi/sektor penetasan semi alami dengan letak dan posisi sarang mengikuti alur penanaman yang dilakukan dan ditentukan oleh pihak pengelola. Bentuk sarang semi alami dibuat menyerupai sarang alami yaitu berbentuk seperti labu ukur dengan lebar mulut sarang ±20 cm dengan kedalaman sesuai dengan sarang alaminya ± 80 cm , Setelah pembuatan sarang dengan kedalaman yang ditentukan selesai kemudian telur-telur diletakkan pada masing-masing sarang semi alami. Ketika meletakkan telur penyu harus hati hati karena telur sangat sensitif dan mudah robek ataupun pecah akibat dari cara pengambilan dan peletakan telur salah.

2.9  Upaya Konservasi
Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, melestarikan atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.  Tujuan ditetapkannya konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu untuk memberi acuan atau pedoman dalam melindungi, melestarikan dan memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya Konservasi penyu merupakan upaya yang sangat penting untuk menjamin keberlangsungan populasi penyu tersebut (Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habitatnya, 2003).
Upaya pelestarian dan restocking penyu sudah mulai dirintis sejak masa penjajahan Belanda, dan dasar–dasar peraturan yang telah ada masih digunakan sampai sekarang. Dewasa ini, kegiatan pelestarian lebih konkrit, bukan hanya pelarangan pemanfaatan penyu, tapi juga menyangkut pembinaan terhadap individu yang dilindungi baik dalam kaitannya dengan habitat ataupun dengan peri kehidupannya. Tujuannya, agar terjaga keberadaan populasi penyu yang ada (Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habitatnya, 2003).
Untuk mewujudkan hal tersebut maka dilakukan beberapa langkah dalam upaya pengelolaan kelestarian penyu, antara lain: Pengelolaan dan monitoring sarang penyu yang meliputi sarang alami dan sarang semi alami, pengelolaan hatchery, penampungan telur dan tukik, pengelolaan tukik dan pelepasan tukik. Secara tekhnis dalam upaya pengelolaan penyu ada beberapa hal yang harus diperhatikan menurut (Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habitatnya, 2003) menyangkut keberhasilan program pengelolaan antara lain:
1.      Organisasi serta instansi yang bergerak atau tertarik di bidang penyu hendaknya dapat saling menginformasikan aktivitas dan hasil penelitian mereka, sehingga dapat memadukan usaha yang akan dicapai.
2.      Kelompok kerja di tingkat nasional hendaknya mampu untuk mengumpulkan data, serta memberikan saran kepada masyarakat mengenai konservasi penyu.
3.      Hal paling penting dalam pengelolaan penyu di indonesia adalah mengembalikan populasi yang telah menurun. Prioritas utamanya adalah untuk mengurangi atau menghentikan penangkapan untuk kepentingan komersial, mengurangi/ menghentikan penangkapan yang tidak disengaja, dan mengurangi/ menghentikan pengambilan telur penyu.
4.      Sangat disarankan untuk melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi penangkapan penyu.
5.      Untuk mengurangi penangkapan yang tidak disengaja hendaknya dapat dilakukan pertukaran informasi ataupun teknologi dengan negara lain. Hal ini berkaitan dengan pengalaman mengenai turtle-excluding devices (TEDs) alat yang apabila penyu tertangkap maka dapat dilepas kembali melalui kantung belakang seperti alat pemisah ikan dan by catch reduction devices (BRDs).
6.      Perlindungan habitat lain selain perbiakan sangat diperlukan
7.      Badan atau organisasi yang memiliki kemampuan di bidang kewenangan serta organisasi sangat disarankan untuk dapat mengembangkan suatu proyek konservasi dan pembangunan terpadu (Integrated Conservation and Development Project–ICDP) di lokasi peneluran utama. Menghindari pelaksanaan penangkaran yang dikelola secara sembarangan, karena hal tersebut justrul akan lebih banyak menimbulkan dampak negatif dibanding manfaatnya terhadap populasi.
8.      Pengumpulan individu untuk percobaan dapat digunakan untuk mendukung pemanfaatan, pendidikan dan pariwisata.
9.      Di lokasi yang sepenuhnya dilindungi tidak diperlukan adanya penangkaran. Telur–telur hendaknya dapat ditetaskan secara alami, sehingga anakan penyu atau tukik dapat menuju kepantai dan menandai lokasi pembiakannya. Hal ini akan memungkinkan tukik kembali lagi ke tempat tersebut pada saat setelah tumbuh dewasa dan siap untuk berkembang biak.
2.10    Peraturan Mengenai Pengelolaan Penyu
Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan upaya pengelolaan penyu sisik, diantaranya adalah :
1.      Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 
2.      Undang-undang No. 41 tahun 1944 tentang ketentuan-ketentuan pokok   Kehutanan: 
3.      Keputusan Presiden RI Nomor 43 tahun 1978 tanggal 15 Desember 1978 tentang ratifikasi CITES. 
4.      Undang-undang RI No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan,
5.      Undang-undang RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya 
6.      Undang-undang RI Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti undang-undang RI Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup 
7.      Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa 
8.      Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa liar 
9.      Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 327/Kpts/Um/10/1978 tentang Beberapa Jenis Binatang Liar yang Dilindungi 
10.  Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 716/Kpts/Um/10/1980 tentang Penetapan Beberapa Jenis Binatang Liar yang Dilindungi 
11.  Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 771/Kpts-II/1996 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dari alam maupun dari hasil penangkaran 
12.  Penyu hijau (Chelonia Mydas) dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/1992. 
13.  MOU on ASEAN Sea turtle conservation and protection menekankan kerjasama dalam perlindungan dan pelestarian penyu lingkup negara-negara ASEAN. MOU ini ditanda tangani oleh perwakilan masing-masing negara ASEAN pada bulan September 1997 di Thailand. 

2.11          Permasalahan Terkait Pengelolaan Penyu hijau
Menurut Harteti (2013), Beberapa permasalahan yang menyangkut konservesi dan pengelolaan sumberdaya penyu di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut:
A.    Pemanfaatan Penyu
Dalam pemanfaatan penyu terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan dengan tidak memperhatikan asas pelestarian lingkungan hidup dan keberkelanjutan sumberdaya tersebut. Hingga seat ini pemanfaatan penyu masih belum seimbang antara tingkat pemanfaatan dengan pertambahan tumbuhnya populasi. Eksploitasi yang berlebihan tanpa menghiraukan pelestariannya, akan menyebabkan status populasi di alam yang sudah langka itu semakin terancam punah.
Sebagai contoh kasus pembantaian penyu di Bali. Memang dari jaman dahulu masyarakat Bali lazim mengkonsumsi daging penyu untuk keperluan adat, khususnya penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu bagi masyarakat Bali dipandang sebagai hewan suci (ulam suci) yang dapat digunakan sebagai komponen hewan sesaji. Sejak tahun 1970an, Bali merupakan pusat konsumsi penyu terbesar di Dunia. Dalam upacara-upacara adat dari keagamaan di Bali, tidaklah aneh jika menghidangkan suguhan sate penyu. Kebutuhan akan daging penyu di Bali tidak dipasok dari wilayah Bali saja, namun sekarang ini didatangkan dari luar antara lain daerah Kepala Burung Irian (sekarang Sorong), Sulawesi Selatan (daerah Takabone Rate), Maluku dan Nusa Tenggara. Selain di Bali (Denpasar Selatan). Pembantaian penyu juga terjadi di kota-kota lainnya, seperti Manado, Ambon, dan Ujung Pandang (Makasar).
B.     Penangkapan dan perdagangan penyu secara tidak sah
Adanya kegiatan penangkapan penyu di alam sulit dilakukan pengontrolan. Hal ini karena pada umumnya daerah penangkapannya terletak di kawasan perairan yang terpencil sehingga sulit untuk dijangkau, serta kurangnya sarana dan prasarana pengawasan yang memadai. Disamping itu tingginya harga jual penyu mendorong berbagai pihak untuk menangkap dan memperdagangkan penyu di berbagai daerah. Yang sangat memprihatinkan adalah penangkapan terhadap penyu betina maupun jantan yang dilakukan di perairan sekitar pantai peneluran, mengakibatkan penyu cepat akan menuju kepunahan, penyu tersebut adalah penyu yang produktif. Banyak tujuan yang ada dibalik perdagangan penyu, antara lair dimanfaatkan dagingnya untuk santapan lezat, ataupun diambil karapasnya untuk souvenir dan juga lemaknya. Apabila kegiatan penangkapan penyu yang tidak mengindahkan kelestarian berlangsung terus menerus, dikhawatirkan akan menimbulkan kelangkaan jenis yang pada gilirannya nanti menyebabkan punahnya jenis-jenis penyu tersebut.
C.    Pemanfaatan telur penyu
Di beberapa daerah peneluran penyu yang potensial, telah dikontrakkan kepada pihak swasta oleh Pemerintah Daerah, seperti di pantai Pengumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan Kepulauan Riau. Walaupun dalam Peraturan Daerah sudah dicantumkan ketentuan untuk menetaskan telur sebagai upaya pelestarian (restocking), serta menutup masa pengambilan telur pada waktu-waktu tertentu atau sasi (close season), namun dalam kenyataannya para pengontrak masih banyak yang belum melaksanakan ketentuan-ketentuan sesuai kaidah-kaidah pelestarian alam. Disamping itu masih banyak pengumpulan telur penyu secara tidak sah, yang dapat mengakibatkan terancamnya populasi penyu di alam.
D.   Gangguan habitat penyu dan pencemaran
Habitat pakan merupakan lingkungan di mana dapat di temukan penyu dan berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Habitat pakan bersifat khas untuk tiap-tiap species, tergantung jenis makanan species penyu tersebut. Penyu hijau yang bersifat herbivor mempunyai habitat pakan diperairan dangkal yang kaya rumput taut dari jenis tertentu dan juga algae. Sementara penyu sisik yang camivor umumnya berupa lingkungan perairan kepulauan yang kaya akan sponge, sedangkan penyu betimbing makanannya adalah ubur-ubur.
Menurunnya populasi penyu di alam selain diakibatkan oleh terjadinya tingkat pemanfaatan yang kurang terkendali dan bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang terperbarukan. Pertentangan ini antara lain : penangkapan dan pembantaian dengan menggunakan alat-alat tombak, panah dan jaring. Di samping itu ada gangguan terhadap terumbu karang dan padang lamun sebagai habitat penyu dan wilayah pesisir dengan hutan pantainya sebagai tempat bertelur yang diakibatkan oleh adanya berbagai kegiatan pembangunan yang dapat menurunkan daya dukung lingkungan, misalnya : pembangunan hotel-hotel, tambak, pelabuhan, pengerukan, pabrik-pabrik dan penambangan serta pengeboran minyak.
Sifat khas wilayah pesisir yang mempunyai banyak kegunaan (multiple use) masih menimbulkan pertentangan kepentingan antar berbagai instansi, khusus dalam pengembangan wilayah Pesisir dan pantai seperti kegiatan reklamasi, perlu ada koordinasi di antara instansi terkait.
E.     Mata pencaharian masyarakat dan pendapatan daerah
Sampai saat ini penyu masih merupakan salah satu sumber mata pencaharian bagi beberapa kelompok masyarakat adat tertentu. Kegiatan perburuan jarang dilakukan secara langsung di habitat pakan namun lebih intensif dilakukan di habitat peneluran, dengan sasaran penyu betina dewasa ataupun telurnya, di Karenakan induk penyu sedang bertelur sehingga  mudah ditangkap. 
Di daerah tertentu terutama di lokasi peneluran penyu yang sudah dikontrakkan kepada pihak swasta merupakan salah satu pemasukan bagi pendapatan daerah setempat, sehingga perlu adanya peraturan dari pihak pemerintah bagaimana pelestarian penyu tersebut.
Kesadaran masyarakat terhadap pemanfaatan penyu disadari bahwa dikalangan masyarakat khususnya nelayan setempat (konsumen primer) dan aparat terkait masih pertu ditanamkan kesadaran yang mendalam akan pentingnya kaidah kaidah pelestarian dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan terutama penyu secara rasional.
Kegiatan penyuluhan tentang status populasi dan biologi penyu maupun hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan perlu melibatkan pemerintah daerah, pemuka adat, pemuka agama, generasi mudah, masyarakat ilmiah serta pencinta alam.
F.     Pengawasan
Dalam hal pengawasan dan pengendalian terhadap penyu untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati, maka perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang pengelolaan penyu. Hal ini disebabkan antara lain oleh jauhnya jarak lokasi, kurangnya jumlah aparat, sarana dan prasarana, akibat kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian sebagai dampak masih terjadi pemanfaatan penyu tanpa diikuti dengan upaya pelestariannya. Masih banyak pantai peneluran penyu yang belum ditunjuk sebagai kawasan konservasi alam sehingga tidak terkelola dan terawasi oleh instansi yang berwenang.
Ancaman manusia terhadap populasi penyu laut sudah sampai kepada tingkat yang memprihatinkan selain mengambil telur-telu yang berada dipantai mereka juga mengambil penyu laut dewasa yang berada di sekitar perairan. Kegiatan pemburuan dan perdangangan mereka sudah terorganisir rapi dengan jaringan operasi mencakup wilayah perairan Indonesia.
Pengawasan dan ppenyelamatan penyu laut yang dilakukan di Wilayah Indonesia nampaknya masih belum menjamin populasi penyu laut yang tersebar diperairan dan pantai di Indonesia yang bukan kawasan konservasi. Dalam hal ini pengamatan dan penindakan serta insektoral perlu ditingkatkan mengingat bahwa upaya ini merupakan tanggung jawab bersama.
Belum lagi ancaman terhadap sarang telur penyu dari hewan-hewan liar cukup besar, hewan seperti biawak (varanus salfator), burung pantai dan kepiting pantai merupakan predator yang sangat kejam terhadap telur penyu yang baru menetas (tukik).
G.    Penegak hukum
Adanya kecenderungan pemanfaatan sumberdaya hayati laut sebagian besar diambil dari alam, hanya sebagian kecil saja dari hasil budidaya, Di samping itu pemanfaatan yang kurang bijaksana dan bertentangan dengan kaidah kaidah pengelolaan sumberdaya alam misalnya pemanfaatan melebihi potensi sumberdaya yang tersedia atau dengan menggunakan alat-alat dari bahan bahan kimia berbahaya yang dapat merusak sumberdaya hayati laut dan lingkungannya. Hal ini dapat membahayakan Iingkungan hidup dan menghambat upaya pelestarian sumberdaya hayati laut termasuk penyu.
Salah satu hal yang sangat penting dalam upaya pengelolaan penyu sisik adalah penegakkan hukum (law enforcement). Peraturan-perundangan telah banyak diterbitkan. Tujuannya agar pengelolaan dapat dilakukan secara terpadu. Namun pada implementasi, sering peraturan dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi maupun hukuman yang tegas, walaupun sudah dinyatakan eksplisit dalam aturan. Pengawasan oleh pihak berwenang (lebih dominan dari Pemerintah) tidak dilakukan.
Penegakan hukum perlu terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Cara– cara dan upaya antara lain dapat berupa:
a.       Sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan pantai kepada semua stakeholders.
b.      Substansi tentang aturan dan sanksinya perlu disosialisasikan lebih detail. Misalnya dengan cara pemasangan papan aturan dan sanksi di tempat-tempat strategis.
c.       Perlu shock therapy yaitu dengan misalnya menerapkan sanksi, denda, atau hukuman maksimal dari aturan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar stakeholders menjadi jera dan mau mentaati aturan yang berlaku.
d.      Perlu lembaga pengawasan yang melekat pada instansi. Lembaga ini berfungsi mengawasi pengelolaan pantai baik internal maupun eksternal. 
e.       Karena isu-isu yang kompleks tersebut maka diperlukan kolaborasi yang baik antara institusi penentu kuantitas dan kualitas air dengan institusi penegakan hukum.
f.       Implementasi penegakan hukum dilakukan dengan cara bertahap
Dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut agar benar-benar terlaksana sebagai wujud law enforcement, bisa dilakukan modifikasi disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah, misalnya :
1.      Identifikasi hukum adat serta revitalisasi lembaga adat (Nagari) dan lokal yang berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya penyu sisik.
2.      Peningkatan kesadaran, kemampuan, dan kepedulian masyarakat pesisir terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan produk hukum pengelolaan biota langka.
3.      Peningkatan pengawasan, pengamanan dan penegakan hukum.
H.    Koordinasi
Masalah pengelolaan penyu menyangkut berbagai macam kepentingan yang melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan pengelolaan penyu perlu adanya koordinasi antara instansi terkait sehingga tidak terjadi pengelolaan yang tumpang tindih dan terhindarnya produk hukum yang berbeda tentang pengelolaan penyu.

































III. METODELOGI
3.1  Waktu dan Tempat
Praktek Kerja Lapangan dilaksanakan selama tiga puluh hari  yaitu dari tanggal 11 Januari sampai dengan 09 Februari 2017 di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur.
Peta Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki dapat dilihat dibawah ini :









Gambar 5. Peta Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki

Secara administratif Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki terletak di Kecamatan Pulau Derawan Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur dan terletak pada koordinat geografis 02° 1’ 11” Lintang Utara dan 115° 45’ 14” Bujur Timur.  Luas TWA. Pulau Sangalaki termasuk wilayah perairannya adalah seluas + 280 ha, sedangkan luas pulau/daratannya + 15.9 ha.
Batas wilayah TWA. Pulau Sangalaki adalah :
·      Sebelah Timur berbatasan dengan Pulau Gasingan
·      Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Lungsuran Naga
·      Sebelah Utara berbatasan dengan Pulau Kakaban dan Pulau Semama -         Sebelah
·      Selatan berbatasan dengan Pulau Karang Malalungan
Secara geologis, Pulau Sangalaki diidentifikasi sebagai gosong yaitu timbunan pasir pantai  dengan satuan morfologi berupa dataran pantai yang datar.  Pulau ini mempunyai laguna dangkal berdasar pasir dan ditumbuhi oleh karang dan lamun.  Lebar pantai antara 12 -15 meter dengan material penyusun berupa fragmen karang dan butiran-butiran pasir kasar.  Sistem lahan Pulau Sangalaki merupakan sistem lahan puting (PTG) yaitu pantai dengan kemiringan 2 % dan tipe batuan yang berasal dari laut.
Kondisi iklim Kawasan Konservasi Laut Berau (KKL Berau) termasuk didalamnya Pulau Sangalaki, sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di Samudera Pasifik.  Secara umum, iklim kawasan ini  terdiri dari musim hujan dan musim kemarau.  Musim hujan berlangsung pada bulan Oktober hingga Mei  dengan jumlah hari hujan rata-rata 15 – 20 hari per bulannya.  Curah hujan terbesar terjadi pada akhir atau awal musim hujan.  Musim kemarau berlangsung antara bulan Juli sampai September dengan curah hujan terendah pada bulan Juli.
Suhu udara rata-rata berkisar antara 24.8 ºC – 27.9 ºC.  Suhu udara minimum berkisar antara 19ºC – 23.2ºC, sedangkan suhu udara maksimum Intensitas curah hujan berkisar antara 0.6 – 21.8 mm.
Tabel 1. Kondisi hidrologi dan hidrooceanografi di wilayah perairan TWA. Pulau Sangalaki.
No.
Parameter
Lokasi
Kisaran Nilai
1.
Suhu
a.   Permukaan
b.   Kedalaman dekat dasar
29,5° – 30,5° C 21,0° – 28,0° C
2.
Salinitas
a.   Permukaan
b.   Kedalaman dekat dasar
33,5 °/°°
34,0 – 34,5 °/°°
3.
Oksigen
-
3,50 – 4,500 ml/l
4.
Nitrat (No3)
a.   Permukaan
b.   Kedalaman dekat dasar
0,4 – 1,8 mg/l >  1,2 mg/l
5.
Fisfat
a.   Permukaan
b.   Kedalaman dekat dasar
0 – 1,2 mg/l
1,2 – 2,4 mg/l
Sumber : Laporan hasil penelitian LIPI – Bappeda Prov. Kaltim Tahun 1994.



3.2  Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Praktek Kerja Lapangan ini dilaksanakan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Berau Merupakan Bagian Dari BKSDA Kalimantan Timur Dengan Sturuktur Organisasi Lingkup Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur.










Gambar 6. Sturktur BKSDA Kalimantan Timur
Demi menjaga kelestarian penyu pengujung dapat mentaati beberapa hal sebagai berikut :
1.      Tidak membuang sampah dipantai
2.      Tidak menyalakan lampu dipantai pada malam hari tanpa seijin petugas
3.      Dilarang mengelilingi pulau terutama pada malam hari tanpa didampingi oleh petugas
4.      Dilarang berkemah di sepanjang pantai
5.      Tidak diperkenakan memberikan perlakuan (makan dll), kepada satwa liar atau perlakuan terhadap tumbuhan liar (pemotongan/penebangan pohon)
6.      Dilarang mengambil apapun dari pulau kecuali foto atau gambar (Sumber : Seksi Konservasi Wilayah I Berau Kalimantan Timur)
3.3  Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada saat melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapangan di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki yaitu:
Tabel 2. Alat dan bahan kegiatan Praktek Kerja Lapangan
No
Nama Alat
Kegunaan
1
Stik
Untuk mengtahui letak telur penyu
2
Batok Kelapa
Membantu pengalian sarang telur
3
Ember
Wadah menaruh telur penyu
4
Senter
pencahayaan
5
Sabak
Alat bantu tulis
6
Kamera
dokumentasi

3.4  Jenis Kegiatan Praktek Kerja Lapangan
Adapun kegiatan yang dilakukan pada saat melakukan Praktek Kerja Lapangan Di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki adalah sebagi berikut :
A.    Monitoring
Monitoring merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui setiap kejadian pada suatu lokasi. Dalam hal ini kegiatan monitoring di Pulau Sangalaki bertujuan untuk memantau setiap penyu yang naik disekitar pantai, kegiatan monitoring dilakukan pada saat malm hari dan pagi hari.
Untuk memudahkan dalam melakukan monitoring, pengecekan penyu yang naik, jumlah sarang dan jumlah tukik yang mentas, Pulau Sangalaki di bagi menjadi 15 sektor dimana sector mempunyai panjang 25 m. dalam satu sector, dibagi mejadi 4 sub bagian yaitu A,B,C dan D. Peta Lokasi Monitoring dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.
            Gambar 7. Peta potensi pendaratan penyu dan letak sector di Pulau Sangalaki (Sumber : SKW I Berau)

B.     Relokasi
Dalam monitoring penyu di Pulau sangalaki hal yang penting diperhatikan adalah relokasi. Relokasi adalah proses pemindahan telur dari tempat yang tidak aman ketempat yang lebih aman. Misalnya tergantung air laut pada saat air pasang, gangguan predator serta keadaan lokasi yang memungkinkan menghambat perkembangan telur penyu seperti akar-akar pohon dan sampah. Apabila penyu bertelur dekat dari hatchery dan dalam kondisi yang tidak aman, maka akan direlokasi ke hathcery tetapi apabila sarang telur yang tidak aman jauh dari hatchery cukup dipindahkan ketempat yang lebih aman disekitarsarang tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari guncangan yang dapat menyebabkann gagalnya penetasan.
Berikut ini langkah langkah untuk relokasi adalah sebagai berikut :
1.      Pencarian posisi sarang telur peyu dalam timbunan pasir. Untuk mendapatkan posisi telur bukan hal yang mudah, butuh keterampilan khusus untuk mendapatkannya, contohnya saat menusuk lubang sarang dengan mengunakan stik
2.      Setelah posisi sarang ditemukan kemudian digali dengan hati hati.
3.      Setelah telur penyu kelihatan diangkat secara perlahan lahan agar tidak pecah/rusak dan dimasukkan kedalam wadah secara perlahan lahan
4.      Ada dua pilihan tempat untuk memindahkan telur pertama ke hatchery dan apabila posisi sarang yang akan direlokasikan jauh dari hathery kita bisa memindahkan ketempat yang dekat dan aman.
5.      Kemudian menggali lubang untuk tempat memasukkan telur penyu yang akan dipindahkan. Ukuran dan bentuk sarang juga dibuat menyerupai ukuran dan bentuk sarang yang aslinya dengan kedalam antara 60-100 cm
6.      Setelah itu telur penyu disusun kedalam galian lubang tersebut secara teliti agar tidak pecah
7.      Sebelum telur penyu tersebut ditimbun diberi identitas dengan menggunakan pita berisi informasi yang terdiri dari tanggal relokasi jumlah telur, relokasi dari sector kesektor dan relokator.
C.    Penetasan secara semi alami (Hatchery)
Proses penetasan telur penyu secara semi alami dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.      Telur penyu yang diambil dari sarang alami dipindahkan ke lokasi penetasan semi alami.
2.      Masukkan telur penyu kedalam media penetasan dimana kapasitasnya media dalam menampung telur disesuaikan dengan besar kecilnya media.
3.      Lama penetasan telur penyu sampai telur enyu menetas menjadi tukik 50-60 hari
4.      Lepaskan segera tukik yang baru menetas ke laut
5.      Untuk kepentingan pendidikan,, penelitian dan wisata sisihkan sebagian tukik yang baru menetas kedalam wadah.lokasi penetasan telur penyu secara semi alami biasanya berada pada didaerah supratidal, yaitu daerah dimana sudah tidak ada pengaruh pasang tertinggi. Pada lokasi tersebut, dapat dibuat beberapa lubang-lubang telur penyu buatan sebagai tempat penetasan telur semi alami.

















IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1     Hasil
Adapun hasil monitoring yang didapatkan pada saat pelaksanaan Praktek Kerja lapangan dari tanggal 11 Januari sampai dengan 09 Februari 2017 di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki disajikan dalam Tabel 4 berikut ini.
Keterangan :   M         : Mendarat
                        B         : Bertelur
                        TB       : Tidak Bertelur
Tabel 3. Hasil monitoring pendaratan penyu
No
Tanggal
M
B
Sektor
TB
SEKTOR
1
11/1/2017
4
4
1D, 7A,7C,1D
1
9B
2
12/1/2017
6
5
3C, 7D, 8A, 11C, 15B
1
15B
3
13/1/2017
3
2
11D, 13C


4
14/1/2017
6
6
2B,2D,4A,5A,8A,8A


5
15/1/2017
4
4
4C, 4C, 13A, 13D


6
16/1/2017
6
4
3A,13A,15B,2A
2
11C,14B
7
17/1/2017
6
4
2C,3C,4B,5B
2
4B,10B
8
18/01/2017
2
2
5A,13A


9
19/01/2017
8
5
1C,5B,5B,12D,1B
3
11C, 13B,13B
10
20/01/2017
8
4
7C,11B,12C,15A
4
3C,3C,9C,12D
11
21/01/2017
11
3
1A,1A,13C
8
1B,3,7D,11A,13C,13B,15A,15A
12
22/01/2017
8
3
3C,7C,7D
5
14C,15A,2B,8A,11D
13
23/01/2017
4
4
5A,7A,7B,11C


14
24/01/2017
3
3
4D,10B,11A


15
25/01/2017
6
3
7D,7D,7C
2
11B,12B
16
26/01/2017
4
3
7C,12A,7B
1
11D
17
27/01/2017
4
3
4B,7C,11B
1
7D
18
28/01/2017
5
3
4D,3A,11D
2
12D,11B
19
29/01/2017
2
2
13C,2A,2A,3B
1

20
30/01/2017
3
3
11D, 4D
1
10B
21
31/01/2017
7
5
12B, 11D, 7D, 7C,
2
13C,4C




5B, 14A


22
1/2/2017
8

5B, 7C, 7D, 11B,
2
13C,4C




12B, 14A


23
2/2/2017
2
2
1D, 1D


24
3/2/2017
4
3
1C, 4D, 7D
1
2C
25
4/2/2017
7
5
2A, 4A, 7C, 8A, 12B
2
10B,10B
26
5/2/2017
3
2
9B,14B
1
10A
27
6/2/2017
6
6
1A, 3C, 7C, 7D,






7D, 13B


28
7/2/2017
4
3
1A, 7C, 13A
2
9D,14A
29
8/2/2017
5
2
4C,10A
3
5C,7B,9B
30
9/2/2017
4
2
12C, 7B

13C,8A
Sumber : Data Praktek Kerja Lapangan
Sedangkan data hasil relokasi telur penyu saat pelaksanaan Praktek Kerja lapangan dari tanggal 11 Januari sampai dengan 09 Februari 2017 di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki disajikan dalam Tabel 5 berikut ini.
Tabel 4. Data relokasi telur penyu
No.
Tanggal
Sektor
Sektor Relokasi
Jumlah Telur Penyu




Dari Sarang
Pecah / Rusak
Yang Direlokasi
1
11 01 2017
7C
13D
               104

               104
2
11 01 2017
7A
13D
                  81
                    1
                  80
3
12 01 2017
11C
13D
               101
                    1
               100
4
12 01 2017
15B
13D
               101
                    1
               100
6
13 01 2017
13C
13D
                  96
                    1
                  95
7
14 01 2017
8A
13D
               143
                    6
               137
8
14 01 2017
5A
13D
                  90
                    2
                  88
9
14 01 2017
4A
13D
               101

               101
10
14 01 2017
2D
13D
               111
                    1
               110
11
14 01 2017
2B
13D
                  89
                    2
                  87
12
15 01 2017
4C
13D
                  95
                    1
                  94
13
15 01 2017
13B
13D
                  72
                    1
                  71
14
15 01 2017
4B
13D
               117
                    1
               116
15
16 01 2017
13A
13D
               101
                    1
               100
16
16 01 2017
3A
13D
                  74
                    1
                  73
17
16 01 2017
15B
13D
                  82

                  82
18
17 01 2017
5B
13D
                  85
                    1
                  84
19
17 01 2017
4B
13D
               102
                    2
               100
20
17 01 2017
3C
13D
               113
                    6
               107
21
17 01 2017
2C
13D
                  92
                    2
                  90
22
18 01 2017
13A
13D
               108
                    3
               105
23
18 01 2017
5A
13D
                  90
                    1
                  89
24
19 01 2017
13B
13D
               104

               104
25
19 01 2017
12D
13D
               112
                    2
               110
26
19 01 2017
5B
13D
               103
                    3
               100
27
19 01 2017
5B
13D
               108
                    2
               106
28
19 01 2017
1C
13D
               115
                    2
               113
29
20 01 2017
7C
13D
                  85

                  85
30
20 01 2017
11B
13D
               121
                    1
               120
31
20 01 2017
12C
13D
                  87
                    1
                  86
32
20 01 2017
15A
13D
                  99
                    2
                  97
33
21 01 2017
1A
13D
                  94

                  94
34
21 01 2017
1A
13D
               109
                    2
               107
35
21 01 2017
13C
13D
               118
                    1
               117
36
22 01 2017
3C
13D
               108
                   -  
               108
37
22 01 2017
7C
13D
               129
                    1
               128
38
22 01 2017
7D
13D
                  94

                  94
39
24 01 2017
4D
13D
                  60
                    1
                  59
40
24 01 2017
10B
13D
                  57
                    1
                  56
41
24 01 2017
11A
13D
                  92
                    1
                  91
42
25 01 2017
7D
13D
                  89
                    2
                  87
43
25 01 2017
7B
13D
               107
                   -  
               107
44
25 01 2017
7C
13D
                  83

                  83
45
26 01 2017
7B
13D
                  52

                  52
46
26 01 2017
7C
13D
               123

               123
47
26 01 2017
12A
13D
                  58
                    6
                  52
48
27 01 2017
4B
13D
               105
                   -  
               105
49
27 01 2017
7C
13D
                  85
                    1
                  84
51
28 01 2017
3A
13D
                  94
                   -  
                  94
52
28 01 2017
4D
13D
               107
                   -  
               107
53
29 01 2017
13C
13D
               102
                   -  
               102
54
29 01 2017
2A
13D
               100
                    1
                  99
55
30 01 2017
11B
13D
                  89
                    7
                  82
56
30 01 2017
4D
13D
               111
                    1
               110
57
31 01 2017
7D
13D
                  95
                    2
                  93
58
31 01 2017
7C
13D
                  98
                    8
                  90
59
31 01 2017
5B
13D
               103

               103
60
01 02 2017
5B
13D
               103
                   -  
               103
61
01 02 2017
7C
13D
                  98
                    8
                  90
62
01 02 2017
7D
13D
                  95
                    2
                  93
63
02 02 2017
1D
13D
               102
                    3
                  99
64
02 02 2017
1D
13D
               104
                   -  
               104
65
03 02 2017
1C
13D
               102
                    1
               101
66
03 02 2017
4D
13D
                  94
                   -  
                  94
68
04 02 2017
2A
13D
               105
                   -  
               105
69
04 02 2017
4A
13D
                  42
                   -  
                  42
70
04 02 2017
7C
13D
               124
                   -  
               124
71
04 02 2017
8A
13D
                  82
                   -  
                  82
72
04 02 2017
12B
13D
                  97
                    2
                  95
73
05 02 2017
9B
13D
               108

               108
74
05 02 2017
14B
13D
                  82
                    1
                  81
75
06 02 2017
13B
13D
                  64
                    5
                  59
76
06 02 2017
7D
13D
                  65
                    1
                  64
77
06 02 2017
1A
13D
               110
                    3
               107
82
07 02 2017
7C
13D
                  91
                    2
                  89
83
07 02 2017
1A
13D
                  31
                    4
                  27
84
07 02 2017
13A
13D
               110
                    3
               107
85
08 02 2017
10A
13D
                  82

                  82
86
08 02 2017
4C
13D
                  94

                  94
87
09 02 2017
12C
13D
               127
                    1
               126
88
09 02 2017
7D
13D
                  92
                    1
                  91

Jumlah


            7,748
               120
            7,628

rata-rata


            95.65
              1.79
            94.17

4.2        Pembahasan
Berdasarkan hasil dari monitoring dilapangan dan berikut ditampilkan dalam bentuk grafik yaitu sebagai berikut :
Gambar 8. Grafik hasil monitoring pendaratan penyu pada kegiatan Praktek Kerja Lapangan

Dari hasil grafik monitoring diatas diperoleh data bahwa setiap malam penyu di Pulau Sangalaki ada yang mendarat, tetapi belum tentu bertelur. Penyu yang mendarat ke pantai tetapi tidak bertelur akibat dari adanya gangguan kepada penyu tersebut sehingga tidak jadi bertelur. Yang mengakibatkan penyu tidak jadi bertelur adalah gangguan dari batang pohon, gangguan manusia dan tidak cocoknya kondisi pasir tempat penyu akan bertelur sehingga tidak jadi bertelur. Penyu melakukan pendaratan untuk bertelur pada pantai yang landai  dan luas biasanya juga penyu melakukan peneluruan dibawah pohon tetapi banyak juga penyu yang melakukan peneluruan di area terbuka. Hasil observasi yang kami lakukan pada kegiatan Praktek Kerja Lapangan Di Pulau Sangalaki tidak beda jauh  dengan yang penelitian yang dilakukan di Sukamade oleh Nuitja pada tahun 1992, Di pantai Sukamade jumlah sarang yang ditemukan pada zona intertidal hanya sebesar 0,05%, sedangkan selebihnya ditemukan pada zone supratidal yang mencapai 98,64%. Dari sarang yang berada di zone supratidal tersebut, sekitar 25,00% berada di bawah naungan pohon, sedangkan lainnya berada di daerah bebas naungan.
Hasil monitoring pada kegiatan Praktek Kerja lapangan di Pulau Sangalaki yang terdapat pada tabel diatas,  diperoleh bahwa sector yang paling sering di kunjungi oleh penyu yaitu pada sector pada sector 7 sebanyak 22 ekor penyu yang  mendarat pada sector tersebut. Lebih dominannya pendaratan penyu pada sector 7 akibat dari landai dan luasnya kondisi pantai di sector 7 yang tidak terkena pasang surut air laut sehingga penyu lebih banyak mendarat pada sector 7. Sedangkan pada sector lain kondisi pantainya tidak landai dan juga tidak luas untuk penyu mendarat untuk bertelur, sebenarnya sector 2 memiliki kondisi yang cukup luas untuk pendaratan penyu tetapi tingkat kemiringannya lebih tinggi dari pada sector 7 dan juga pada sector 2 terdapat bangunan resort yang memiliki cahaya penerangan akibatnya penyu hanya ada beberapa yang mendarat pada sector 2.
Sedangkan harmadi dan Wiadnyana (2008) mengungkapkan bahwa penyu menyukai daerah dengan kemiringan 30º untuk bertelur. Kemiringan Pantai Pangumbahan dalam Segara (2008) pada Musim Timur dan Musim Barat masih berada pada kisaran normal, sesuai dengan kesesuaian tempat peneluran penyu pada umumnya. Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada aksesbilitas penyu untuk mencapai daerah yang sesuai untuk bertelur. Semakin curam pantai maka akan semakin besar pula energi penyu yang diperlukan untuk naik dan bertelur.
Berdasarkan hasil relokasi telur penyu yang di lakukan pada kegiatan Praktek Kerja lapangan di Pulau Sangalaki diperoleh data sebagai berikut dalam bentuk grafik :
Gambar 9. Grafik persentase jumlah relokasi telur penyu

Dari keseluruhan jumlah penyu yang mendarat pada pulau sangalaki persentase bertelurnya lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak bertelur adapun jumlah telur yang penyu adalah sebanyak 7.748 yang direlokasi dengan persentase 80,99% = 7.628 sedangkan yang tidak direlokasi atau pecah persentasenya 1,1%=120 telur penyu. Dalam melakukan pecarian sarang dan penggalian lubang sarang penyu harus dengan penuh kehati-hatian karena dapat mengakibatkan telur penyu tersebut pecah. Telur penyu yang peah tersebut kebanyakan akibat dari tusukan dari stik dan juga terkena jari tangan sarang menggali lubang sarang. Sebenarnya polulasi penyu yang datang bertelur di Pulau Sangalaki mengalami penurunan dari tahun ke tahun akibat dari perburuan dari manusia dan juga pemanasan global sehingga tingginya permukaan air laut mengakibatkan habitat penuluruan setiap tahunnya berkurang.
Berikut juga diungkapkan bahwa penurunan populasi jumlah penyu yang mendarat di Pulau Sangalaki sangat signifikan terjadi Menurut Adnyana dkk. (2007), total pendaratan dan peneluran di Sangalaki per bulan berturut-turut adalah antara 160 – 1.166 (rata-rata ± SD = 584 ± 234.5) dan  93 – 812 (354 ± 153), dengan aktivitas peneluran tertinggi antara Mei – Oktober dan aktivitas peneluran terendah antara bulan Nopember – April. Populasi pendaratan ini jauh menurun apabila dibandingkan dengan perkiraan total pendaratan penyu di Sangalaki pada tahun 1950-an dan 1970-an (Lindsay dan Watson dalam Adnyana dkk. (2007), yaitu 200 dan 150 ekor penyu per malam. Sementara sensus yang dilakukan oleh sebuah operator selam Sangalaki antara bulan April 1993 sampai bulan Juli 1994 mendapatkan populasi pendaratan penyu per malam yang lebih sedikit (39 ± 9.4) (G.F. Taylor dalam Tomascik dkk., 1997). 




















V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil kegiatan  Praktek Kerja Lapangan Di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki dapat disimpulkan bahwa  sebgai berikut : :
1.       Habitat peneluruan Penyu hijau (Chelonia Mydas) adalah sebagai berikut  pada kondisi pantai yang landai, luas dan belum terjamah oleh manusia atau tidak adanya gangguan dari manusia, Penetasan telur semi alami Di Pulau Sangalaki dilakukan dengan cara memindahkan telur penyu dari tempat alami ke sarang buatan.
2.      Teknik pelestarian penyu hijau (Chelonia Mydas) yang dilakukan di TWA Pulau Sangalaki adalah dengan cara melakukan pencarian,  pemantau pendaratan penyu, memindahkan telur alami kelokasi sarang semi alami, penetasantelur semi alami, pelepasan tukik yang baru menetas
3.      Hambatan yang di alami pada pelestarian penyu adalah kurang kesadaran masyrakat terhadap pelestarian penyu di TWA Pulau Sangalaki sehingga masih banyak terjadinya seperti pencurian telur dan perdagangan sisik penyu untuk menjadi souvenir

5.2 Saran
Hal yang diharapkan untuk pengelolaan  penyu di Taman Wisata Alam Pulau  Sangalaki yang dilakukan oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur khususnya Seksi Wilayah Berau untuk memperhatikan setiap sampah ataupun batang pohon sebagai pengahalang penyu mendarat ataupun bertelur untuk segera dibersihkan dengan memiliki jadwal pembersihan pulau oleh petugas sehingga sampah ataupun batang pohon berkurang untuk memudahkan penyu bertelur dan mendarat dengan menyediakan banyak tempat pembuangan sampah (Tong sampah) pada daerah yang sering dikunjungi para wisatawan sehingga para wisatawan tidak membuang sampah sembarangan.
Untuk kedepannya pada pengelolaan kawasan konservasi Taman Wisata Alam pulau Sangalaki adalah melibatkan masyarakat didaerah Kepulauan Derawan dan sekitarnya dalam upaya peletarian penyu sehingga masyarakat paham  tentang pentingnya kelestarian penyu, dan membekali masyarakat keahlian khususnya dalam bidang perikanan misalnya pengolahan ikan menjadi amplang sehingga apabila masyarakat telah memiliki pendapatan yang cukup maka hal ini dalam meminimalisir terjadi pemanfaatan sisik untuk dijadikan souvenir ataupun penjualan telur penyu. Terlebih lagi untuk menindak tegas pelaku pencurian telur ataupun penangkapan penyu sehingga ada efek jera bagi pelakunya dan tidak mengulang perbuatannya. untuk mahasiswa perlunya persiapan yang matang sebelum melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapangan sehingga pada saat melakukan kegiatan dilapangan tersetruktur dengan benar dan data yang diambil sesuai dengan prosudure kegiatan.




DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I.B.W. 2003. Penyu Laut di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Laporan untuk WWF Indonesia.
Alfian, 1989. Analisis Keberhasilaan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi-Alami di Pantai Pangumbuhan, Kabupaten Sukabumi.Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Bowen, B.W., and S.A. Karl. 1997. Population genetics, phylogeography, and moleculer evolution. p.29-50, in: P.L. Lutz and J. Musick (Editors). The Biology of Sea Turtles. RC Press. Boca Raton, Florida.
Bustard, R. 1972. Sea Turtles,Natural History and Conservation. Taplinger  Publishing Company, New York. 220 p.
Bustard, R. H. 1972. Sea Turtle :Natural History and Conservation. Collins, Press Inc.Sidney
Dermawan, A. 2009.Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Direktorat Konservasi dan TamanNasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI.Jakarta
Dharmadi, N., N. Wiadnyana. 2008. Kondisi Habitat dan Kaitannya dengan Jumlah Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang Bersarang di Pulau Derawan Berau-Kalimantan Timur. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Vol 14: 19-204
Direktorat Konservasi &Taman nasional Laut, 2009,Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habibatnya, Departemen Kelautan dan Perikanan,Jakarta
DKP. 2009. Buku pedoman Konservasi dan Pengelolaan Penyu, Workshop Konservasi dan Pengelolaan Penyu, 23 Januari 2009 Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Alam (PHKA) Departemen Kehutanan RI, Jember, Jawa Timur.
Eckert,  K.  L.  1995.  Draft  General  Guidelines  and  Criteria for  Management  of Threatened   and   Endangered Marine   Turtles   in   the   Wider  Caribbean Region. UNEP (OCA)/CAR WG.19/ INF.7. Prepared by WIDECAST for the   3rd   Meeting   of   the   Interim   Scientific   and   Technical Advisory Committee to the SPAW Protocol.Kingston, 11-13 October 1995. United Nations Environment Programme, Kingston. 95 pp
Harless, M. and H..Morlock. 1979. Turtle Perspectives and Research. John Wiley & Sons. New York.
Harteti S. 2013. Analisis kinerja konservasi penyu di kawasan konservasi[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Herdiawan, I. 2003. Analisis Habitat Penyu Hijau, Chelonia mydas, Linneaus Di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi. Tesis. Program Studi Imlu Kelautan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77 hlm.
Hirth HF. 1971. Synopsis of Biological Data on the Green Turtle, (Cheloniamydas,Linnaeus 1758). Rome : FAO Fish. Synop. (85). 69 hal
Limpus, C.J.1997 Populasi Penyu Asia Tenggara dan Wilayah Pasifik Barat : Penyebaran dan statusnya, Makalah Seminar Penelitian dan pengelolaan Penyu Indonesia, Jember- Indonesia
 Lindsay.Watson. Adnyana 2007, Biologi Konservasi. Jakarta : Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Lindsay.Watson.Adnyana 2007. Status of green  turtle (Chelonia mydas) nesting and foraging populations of Berau, East Kalimantan, Indonesia, including result from tagging and telemetry. Indian Ocean Turtle Newsletter.
Miller, J.D. 1997. Reproduction In Sea Turtle. P 51-71. In: The Biology of Sea Turtle. Ed P.L. Lutz and J. A. Musick. CRC Press, Boca Raton, Florida
Moll 1979. Bioekologi Penyu Laut. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Musrifin, 2011. Buku Panduan Pasang Surut Laut. LIPI, Jakarta-Indonesia
Natih NMN 1989. Tingkah Laku Bertelur dan Konservasi Penyu Hijau, Chelonia mydas L. di Pantai Sindangkerta, Propinsi jawa Barat. Bogor: Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB.
Nuitja 1985 Inkubasi dan Keberhasilan Penetasan dalam Inkubasi Buatan terhadap Telur Penyu Daging, Chelonia mydas L. Bogor: Fakultas Perikanan, IPB.
Nuitja, 1985. Studi Ekologi Peneluran Penyu Daging, Chelonia mydas L. di Pantai Sukamade, Kbupaten Bayuwangi. Bogor: Fakultas Perikanan, IPB.
Nuitja,INS, 1992, Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut Institut  Pertanian Bogor Press, Bogor
Prichard, P. C. 1999. Galapa gos Sea Turtle - preliminary Finding. J. Herpetology. 5:1-9.
Prihanta,W,2007.Problematika Kegiatan Konservasi Penyu di Taman Nasional Meru Beriti, Laporan Penelitian Pengembangan IPTEK Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah, Malang
Rebel, T.P. 1974. Sea Turtles and Turtle Industry of The Western Indies, Florida and Mexico. University of Miami Press. Coral Gables Florida. 250 p.
Spotila, J.R. 2004. Sea turtle : a complete guide to their biology, behaviour, and conservation. The Johns Hopkins University Press.
Spotila, J.R. 2004. Sea Turtles: A Complete Guide to Their Biology, Behavior and Conservation. Vol I.The Johns Hopkins University Press, Baltimore, Maryland, London.227 p.
Takeuchi, H. 1983. Penyu Hijau (Terjemahan Arifiana). PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. 32 hlm
Taylor.G.F, Tomascik 1997.  Pengaruh Kedalaman Sarang dan Susunan Telur Terhadap Persentase Tetas Telur Penyu Hijau di Pulau Sangalaki. WWF-Indonesia
Tomascik T., AS. mah dan AMK. Moosa. 1997. The Ecology of Indonesian Seas, Part II. Singapore: Periplus Editions (Hk) Ltd.
Tomascik, J. A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of Indonesian Seas.Part Two, vol VIII, Chapter 21. Periplus Edition. pp 1101-1131
















LAMPIRAN












LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar monitoring pagi hari


Lampiran 2.Gambar Penggalian Sarang Alami Telur Penyu


Lampiran 3 Gambar Memasukkan Telur Ke Wadah Untuk Dipindahkan


Lampiran 4. Gambar Pemidahan telur ke sarang semi alami

Lampiran 5. Gambar Telur penyu yang dipindahkan



Lampiran 6 Gambar Pelepasan tukik


Lampiran 7. Gambar  Predator telur penyu



Lampiran 8 Gambar Telur yang baru mentas menjadi tukik







Gambar 9. Pembersihan sampah di Pantai


Gambar 10. Bersama pembimbing lapangan






Gambar 11. Bersama Pengujung Pulau Sangalaki

Gambar 12. Pelayan pengujung






Lampiran 13. Gambar bersama kepala Seksi KW I Berau


Lampiran 14. Gambar bersama kepala Balai dan Staff BKSDA KALTIM


2 komentar: