LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
TEKNIK PELESTARIAN PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DALAM MENINGKATKAN POPULASI PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DI KAWASAN TAMAN WISATA
ALAM PULAU SANGALAKI KABUPATEN BERAU
KALIMANTAN TIMUR
MUHAMMAD
SYAHRIL
13542411000456
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
SEKOLAH TINGGI PERTANIAN KUTAI TIMUR
SANGATTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Teknik Pelestarian
Penyu Hijau (Chelonia Mydas)
Dalam Meningkatkan Populasi Penyu Hijau (Chelonia Mydas) Di Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pulau
Sangalaki Kabupaten Berau Kalimantan Timur
Laporan : Sebagai Salah Satu
Syarat untuk Kelulusan Praktek Kerja Lapangan (PKL) Sekolah
Tinggi Pertanian Kutai Timur
Program Studi : Ilmu Kelautan
Nama : Muh. Syahril
Nim : 13.542411.00.0456
Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing,
Suprianto, S.Pi.,M.Si
NIDN:1125087702
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Teriring
puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunianya saya selaku penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja
Lapangan yang dilaksanakan Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki Kabupaten Berau
Provinsi Kalimantan Timur dari Tanggal 11
Januari sampai dengan 09 Februari 2017.
Pada kesempatan ini
juga, saya mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada :
- Bapak Imanuddin, S.Pi.,MP, selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Kutai Timur, yang telah memberikan izin kepada kami melaksanakan Praktek Kerja Lapangan
- Bapak Suprianto, S.Pi.,MP selaku dosen pembombing yang telah membimbing dan membantu dalam melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapangan
- Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur yang telah memberikan izin kepada kami untuk melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapangan
- Bapak Aganto Seno,S.Si,M.Sc Selaku Kepala Seksi Kawasan Konservasi (SKW) I Berau, yang telah memberikan kesempatan dalam kegiatan Praktek Kerja Lapangan
- Para Staff Seksi Kawasan Konservasi (SKW) I Berau yang telah memberikan pengalaman, ilmu pada saat melaukan kegiatan Praktek Kerja Lapangan
- Dan semua pihak yang turut membantu dalam peyelesaian kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Saya menyadari bahwa
penyusunan laporan hasil Praktek Kerja Lapangan ini tidaklah sempurna, karena
kesempurnaan itu haya milik Allah Yang Maha Esa dan untuk itu saya mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi siapa saja yang membutuhkan.
Billahitaufiq Walhidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Sangatta, 11 April 2017
Mahasiswa
Muhammad
Syahril
13542411000456
DAFTAR ISI
Halaman Judul...................................................................................................... i
Halaman Pengesahan........................................................................................... ii
Kata Pengantar................................................................................................... iii
Daftar Isi............................................................................................................... v
Daftar Tabel....................................................................................................... vii
Daftar Gambar.................................................................................................. viii
I. Pendahuluan
1.1
Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2
Tujuan Praktek Kerja Lapangan................................................................. 4
1.3
Manfaat Praktek Kerja Lapangan.............................................................. 4
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Taksnomi
Penyu hijau (Chelonia mydas)..................................................... 5
2.2
Morfologi Penyu.......................................................................................... 5
2.3
Siklus Penyu................................................................................................ 7
2.4
Habitat
Peneluran Penyu Hijau (Chelonia Mydas)...................................... 9
2.5 Karakteristik Biofisik Tempat
Peneluran Penyu........................................ 13
2.6 Tingkah Laku Penyu Hijau (Chelonia Mydas) saat akan bertelur.............. 18
2.7 Pemindahan Telur dari Sarang Alami ke Sarang Semi
Alami.................... 21
2.8 Penanaman Telur........................................................................................ 22
2.9 Upaya Konservasi...................................................................................... 22
2.10 Peraturan Mengenai Pengelolaan Penyu.................................................. 25
2.11 Permasalahan Terkait
Pengelolaan Penyu hijau....................................... 26
III. Metedologi
3.1 Waktu dan tempat..................................................................................... 35
3.2 Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)...................................... 37
3.3 Alat dan Bahan.......................................................................................... 39
3.4 Jenis Kegiatan Praktek Kerja Lapangan.................................................... 40
IV. Hasil Dan
Pembahasan
4.1 Hasil........................................................................................................... 44
4.2 Pembahasan............................................................................................... 48
V. Kesimpulan
Dan Saran
5.1 Kesimpulan................................................................................................ 53
5.2 saran........................................................................................................... 53
Daftar Pustaka
Lampiran
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kondisi hidrologi dan hidrooceanografi di
Pulau Sangalaki.................. 37
Tabel 2. Alat dan bahan kegiatan Praktek Kerja
Lapangan................................. 39
Tabel
3. Hasil monitoring pendaratan penyu........................................................ 44
Tabel
4. Data relokasi telur penyu........................................................................ 45
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1. Morfologi Penyu hijau.......................................................................... 7
Gambar
2. Siklus Reproduksi Penyu Laut............................................................. 8
Gambar
3. Habitat peneluruan penyu................................................................... 13
Gambar
4. Tahapan Penyu bertelur...................................................................... 20
Gambar
5. Peta Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki......................................... 35
Gambar
6. Sturktur BKSDA Kalimantan Timur.................................................. 38
Gambar
7. Peta potensi pendaratan penyu dan letak sector di Pulau Sangalaki.. 40
Gambar
8. Grafik hasil monitoring pendaratan penyu pada kegiatan PKL......... 48
Gambar
9. Grafik persentase jumlah relokasi telur penyu.................................... 50
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta
mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh. Keberadaannya telah lama terancam, baik
dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung
maupun tidak langsung (DKP, 2009).
Penyu
juga telah terbukti sebagai hewan yang sangat rumit untuk dikelola. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh pertumbuhannya yang lambat, lambatnya usia matang
kelamin, perbiakan yang tidak terjadi setiap tahun, tingkat kematian yang
tinggi pada penyu muda, penyebaran tukik di laut, migrasi yang jauh antara
tempat mencari makan dan tempat peneluran, kebiasaan untuk bertelur di lokasi
yang sama, serta ketergantungan perbiakan terhadap suhu tertentu (Limpus,
1997).
Ada
tujuh spesies penyu yang masih hidup sampai saat ini: penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), penyu Hijau (Chelonia mydas), penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), penyu Tempayan
(Caretta caretta), penyu Pipih (Natator depressus), penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu Kemp’s
Ridley (Lepidochelys kempi) (Harless
dan Morlock, 1979). Namun hanya enam spesies yang disebut pertama yang
ditemukan di perairan Indonesia. Spesies yang paling banyak ditemukan di
perairan Indonesia adalah penyu Hijau (Chelonia
mydas), yang banyak tinggal di habitat terumbu karang (Tomascik dkk., 1997)
Salah
satu habitat peneluran dan pakan penyu Hijau (Chelonia mydas) terbesar di Indonesia adalah di Kepulauan Derawan.
Penyu Hijau yang bertelur di kepulauan ini diperkirakan berjumlah antara 4.000
– 5.500 ekor per tahun (Tomascik dkk.,
1997). Namun menurut Spotila (2004), populasinya sudah berubah menjadi hanya
sekitar 1.800 ekor per tahun penyu betina yang bertelur di kepulauan ini.
Kepulauan yang terletak di Kabupaten Berau – Kalimantan Timur ini memiliki
beberapa lokasi peneluran bagi penyu Hijau, di antaranya adalah pulau Sambit,
pulau Bilang-bilangan, pulau Maratua, pulau Derawan, pulau Mataha, pulau
Balikukup, pulau Belambangan, dan pulau Sangalaki.
Penempatan
sarang, bagi hewan yang meletakkan telurnya seperti penyu, mempunyai
konsekuensi penting bagi kesuksesan reproduksinya. Menurut Bjorndal dan Bolten
(1992), ketika seekor penyu muncul dari laut ke pantai untuk bersarang, dia
biasanya memasuki lingkungan heterogen yang relatif luas, sehingga dia harus
memilih lokasi bersarangnya. Tempat dia bersarang dapat mempengaruhi kesuksesan
dan kebugaran reproduksinya dilihat dari kelangsungan hidupnya dan kelangsungan
hidup anakannya, dan rasio jenis kelamin dari anakannya.
Pulau sangalaki sudah ditetapkan
sebagai Taman wisata alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
604/Kpts/Um/8/1982 tanggal 19 Agustus 1982, dengan luas daratan dan perairannya
seluas ± 280 Ha. Secara geografis terletak antara 118024′23″-118025′26″ Bujur
Timur dan 25′14″-26′5″ Lintang Utara. Secara administratif pemerintahan kawasan
ini termasuk Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Dati II Berau, Propinsi
Kalimantan Timur.
Pulau
Sangalaki merupakan salah satu habitat peneluran penyu hijau yang utama di
Kepulauan Derawan. Penyu hijau bertelur sepanjang tahun di pulau dengan luas
daratan sekitar 15 hektar ini. Menurut Adnyana dkk. (2007), total pendaratan dan peneluran di Sangalaki per bulan
berturut-turut adalah antara 160 – 1.166
(rata-rata ± SD = 584 ± 234.5) dan 93 – 812 (354 ± 153), dengan aktivitas
peneluran tertinggi antara Mei – Oktober dan aktivitas peneluran terendah
antara bulan Nopember – April. Populasi pendaratan ini jauh menurun apabila
dibandingkan dengan perkiraan total pendaratan penyu di Sangalaki pada tahun
1950-an dan 1970-an (Lindsay dan Watson dalam
Adnyana dkk. (2007), yaitu 200 dan
150 ekor penyu per malam. Sementara sensus yang dilakukan oleh sebuah operator
selam Sangalaki antara bulan April 1993 sampai bulan Juli 1994 mendapatkan
populasi pendaratan penyu per malam yang lebih sedikit (39 ± 9.4) (G.F. Taylor dalam Tomascik dkk., 1997).
Di
pulau sangalaki merupakan tempat penetasan telur penyu secara semi alami yaitu
dengan memindahkan telur yang alami ke lubang buatan mirip dengan lubang
alaminya, dengan tujuan untuk mencegah terkenanya telur penyu dari pasang surut
air laut maupun serangan predator seperti biawak. Dengan cara penetasan secara
semi alami adalah untuk mencegah kepunahan penyu dengan upaya pelestarian
diharapkan dapat memperbanyak jumlah penyu di dunia dengan itu judul kegiatan
yang saya lakukan selama kegiatan Praktek Kerja Lapangan yaitu “Teknik
Pelestarian Penyu Hijau (Chelonian Mydas)
Untuk Meningkatkan Pelestarian Penyu Hijau (Chelonian
Mydas) Di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki Kabupaten Berau Kalimantan
Timur”.
1.2 Tujuan Praktek Kerja Lapangan
Adapun
tujuan dari Praktek Kerja lapangan di
Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki yaitu sebagai berikut :
1.
Mengetahui Habitat Peneluran penyu hijau
(Chelonian mydas) dan cara penetasan
semi alami telur penyu hijau (Chelonian mydas) di Taman Wisata Alam
Pulau Sangalaki.
2.
Mengetahui teknik pelestarian penyu
hijau (Chelonian mydas) di Taman
Wisata Alam Pulau Sangalaki.
3. Mengetahui
masalah-masalah serta hambatan yang dihadapi dalam kegiatan pelestarian penyu
hijau (Chelonia Mydas) di Taman
Wisata Alam Pulau Sangalaki.
1.3 Manfaat Praktek Kerja lapangan
Adapun
manfaat dari kegiatan Praktek Kerja Lapangan di Taman Wisata Alam Pulau
Sangalaki yaitu :
1.
Mahasiswa mampu menambah pengetahuan tentang
bagaimana cara system penetasan telur semi alami dan teknik pelestarian penyu
hijau (Chelonia mydas) Di TWA Pulau
Sangalaki
2.
Bagi instansi yaitu dapat Menjalin kerja sama dan saling mengenal antara Departemen
kerja dan pendidikan, sehingga bisa dijadikan referensi untuk menyiapkan tenaga
kerja yang lebih maju dan kompetetif.
3.
Bagi
Perguruan Tinggi yaitu memberikan
gambaran tentang kesiapan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja yang
sebenarnya.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Taksonomi Penyu hijau (Chelonia mydas)
Penyu
hijau tergolong dalam famili Cheloniidae.
Menurut Hirth (1971) dalam Prihanta (2007), taksonomi penyu hijau adalah:
|
Kingdom
|
: Animalia
|
|
Filum
|
: Chordata
|
|
Class
|
: Reptilia
|
|
Ordo
|
: Testudinata
|
|
Family
|
: Cheloniidae
|
|
Genus
|
: Chelonia
|
|
Spesies
|
: Chelonia mydas
|
Chelonia mydas Linn merupakan nama ilmiah yang paling umum
dipergunakan bagi penyu hijau. salah
satu anonimnya adalah Testudo mydas
linnaeus, dan dalam dunia internasional spesies ini lebih dikenal sebagai green turtle berdasarkan warna lemak pada
jaringan tubuhnya (Hirth, 1971) dalam Prihanta (2007).
2.2
Morfologi Penyu
Penyu adalah satu-satunya spesies reptile laut yang
terbesar dan berumur panjang yang dapat ditemukan di perairan dunia beriklim
tropis, subtropis dan bertemperatur sedang lainnya (Bowen and avise,1996).
Tujuh
spesies penyu di dunia terdiri dari dua keluarga, yaitu chelonidae dan demochelydae
yang merupakan satu-satunya anggota keluarga penyu dengan ukuran tubuh
terbesar. Tujuh spesies tersebut adalah Penyu hijau atau Green Sea Turtle (Chelonia mydas), Penyu sisik atau Hawksbill Turtle (Eretmochelys imbricata),
Penyu belimbing atau Leatherback Turtle
(Dermochelys cariacea), Penyu lekang atau Olive Ridley Turtle, (Lepidochelys
olivacea), dan Penyu tempayan atau Loggerhead
Turtle (Caretta caretta), Penyu pipih atau flatback turtle (Natator
depressa). (Eckert et al., 1999).
Penyu hijau memiliki tempurung punggung (karapas)
yang terdiri dari sisik-sisik yang tidak saling tumpang tindih. Warna karapas
pada bagian dorsal tukik penyu hijau berwarna hitam, pada saat remaja warnanya
menjadi coklat dengan radiating streak (bercak kekuningan yang menyebar) dan
warnanya menjadi sangat bervariasi ketika sudah dewasa (Pritchard dan Mortimer,
1999).
Warna
pada bagian centralnya (plastron) pada tukik adalah putih dan menjadi
kekuningan pada saat dewasa. Morfologi diagnostik yang membedakan Penyu hijau
dengan penyu jenis lainnya adalah terdapatnya sepasang sisik prefrontal dan
empat buah sisik postorbital pada area kepalanya (Adnyana dkk., 2003). Penyu
hijau memiliki panjang lebih dari 0,9 m sampai 1,5 m dengan berat mencapai
391,95 kg, dan memiliki cakar yang tajam pada kaki depannya (Prihanta, 2007).
Pada masing masing flipper penyu terdapat satu kuku dan flipper bagian depan
lebih panjang dari pada bagian belakang
(Pritchard dan Mortimer, 1999).
Tukik
penyu hijau tergolong pemakan segala (omnivora) dengan memakan kepiting kecil,
ubur-ubur, dan sejenis karang lunak (sponge), selain mengkonsumsi alga hijau
dan lamun.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Coastal
|
|
|
|
Vertebral
|
|
|
|
Flipper
depan
|
|
|
|
Post
orbital
|
|
|
|
Karapas
|
|
|
|
|
|
Plastron
|
|
|
|
Pre
frontal
|
|
|
|
Flipper
|
|
belakang
|
|
|
|
Temapat
Pemasangan tag
|
|
|
Gambar 1. Morfologi Penyu hijau (Sumber: Miller, 1997)
2.3
Siklus penyu
Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang
sama dengan penyu lainnya. Secara umum siklus hidup penyu terbagi atas pantai
peneluran, ruaya pakan dan ruaya kawin. Dalam mencapai dewasa kelamin penyu
mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan waktu berpuluh-puluh
tahun untuk mencapai usia produktifnya. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di
satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh,
yaitu bisa mencapai hingga 3000 km dari ruaya pakan ke pantai peneluran. Pada umur
sekitar 20-50 tahun, penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di
sekitar daerah kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa terjadi di
lepas pantai satu atau dua bulan sebelum peneluran pertama di musim tersebut
(Pedoman Teknis Konservasi Penyu, 2009).
Moll (1979) dalam Nuitja (1985) menjelaskan bahwa,
oviposisi berlangsung mulai dari sekali hingga beberapa kali dalam periode
setahun. Hal ini bergantung pada beberapa faktor seperti letak lintang (latitude), jenis umur (besar) dan sumber
serta kualitas makanan yang dimakannya. Pada umumnya penyu hijau bertelur lebih
dari satu kali dalam satu musim bertelur (3-4 kali), dengan interval internesting kira-kira 2 minggu. Setelah
selesai bertelur, penyu dewasa akan meninggalkan sarang dan telur-telurnya
untuk kembali beruaya mencari makanan untuk kemudian melangsungkan kembali
siklus hidupnya di laut.
Tukik yang baru menetas dan keluar dari sarangnya
akan langsung bergerak menuju kelaut, karena proses alaminya yang ada berkaitan
dengan medan magnet cahaya. Setelah mencapai laut, tukik-tukik itu menuju ke
laut lepas hingga mencapai arus samudra dengan cadangan makanan kuning telur
yang ada ditubuhnya. Fase awal berkelana ini sering disebut sebagai “tahun yang
hilang”, yang lamanya bervariasi sesuai dengan jenis dan populasinya (Dermawan 2009).
Gambar
2. Siklus Reproduksi Penyu Laut (Sumber: Miller, 1997)
2.4
Habitat Peneluran
Penyu Hijau (Chelonia Mydas)
Habitat
merupakan suatu daerah atau lokasi tempat tinggal yang dihuni oleh mahluk
hidup, dimana didalamnya memiliki komponen biotik dan abiotik, yakni berupa
ruang, lahan, makanan, lingkungan dan mahluk hidup lainnya. Menurut Nuitja
(1985) unsur – unsur utama daerah peneluran penyu terdiri dari makro dan mikro
habitat. Makro habitat itu sendiri terdiri dari berbagai komposisi pasir, tanah
dan formasi hutan pantai. Biasanya hutan pantai yang belum terjamah, kondisinya
masih alami dengan pepohonan yang masih lebat.
Penyu
banyak memilih pantai berpasir tebal sebagai tempat bertelurnya, pemilihan ini
dilakukan atas dasar naluri (Natih, 1989). Bustard (1972) menyebutkan bahwa penyu hijau memiliki
kecenderungan untuk memilih tempat bertelur di daerah pantai yang banyak
ditumbuhi vegetasi pohon pandan (Pandanus
tectorius) yang lebat, seperti yang terdapat di Pantai Pulau Berhala dan
Kepulauan Heron di Australia. Daerah peneluran bagi penyu hijau mempunyai
karakteristik tertentu.
Habitat adalah suatu daerah yang ditempati makhluk
hidup, memiliki komponen biotik dan abiotik, berupa ruang, lahan, makanan,
lingkungan dan makhluk hidup lainnya (Herdiawan 2003). Penyu hidup di dua
habitat yang bebeda yaitu habitat darat sebagai tempat peneluran (nesting ground) yang memiliki beberapa
karekteristik dan habitat laut sebagai habitat utama bagi keseluruhan hidupnya.
Habitat
darat merupakan tempat peneluran (nesting
ground) bagi penyu betina. Dalam satu kali musim peneluran penyu akan
bertelur tiga kali dengan rata-rata jumlah telur 110 telur (Spotila 2007).
Penyu memiliki kecenderungan memilih tempat tertentu sebagai pantai
penelurannya. Umumnya pantai penelurannya adalah daratan luas dan landai yang
terletak di atas pantai dengan rata-rata kemiringan 30° serta diatas pasang
surut antara 30 sampai 80 meter, memiliki butiran pasir tertentu yang mudah
digali dan secara naluriah dianggap aman untuk bertelur. Selain itu pantai yang
didominasi oleh vegetasi pandan laut memberikan rasa aman tersendiri bagi penyu
yang bertelur (Nuitja 1992). Idealnya dalam proses peneluran penyu ada beberapa
faktor yang dapat mendukung aktivitas tersebut seperti suasana yang sunyi,
tidak terdapat penyinaran dan tidak ada aktivitas pergerakan yang dapat
mengganggu penyu menuju pantai (Dharmadi dan Wiadnyana 2008).
Habitat
laut merupakan tempat yang utama bagi kehidupan penyu. Perairan tempat hidup
penyu adalah laut dalam terutama samudera di perairan tropis, sedangkan tempat
kediaman penyu adalah daerah yang relatif agak dangkal, tidak lebih dari 200
meter dimana kehidupan lamun dan rumput laut masih terdapat (Spotila 2004).
Daerah yang lebih disukai penyu adalah daerah yang mempunyai batu-batu sebagai
tempat menempel berbagai jenis makanan penyu dan berbagai tempat berlindung. Chelonia mydas tergolong herbivora yang
mencari makan pada daerah-daerah yang dangkal dimana alga laut seperti Zostera, Chymodocea, Thallasia dan
Hallophila masih dapat tumbuh dengan
baik (Rebel 1974).
Penyu
hijau adalah jenis penyu yang tahan terhadap kisaran suhu yang lebar (eurythermal), meskipun demikian penyu
hijau ditemukan lebih aktif bergerak di laut sub tropis bersuhu 18°C - 22°C dan
di laut tropis bersuhu 26°C30°C. Penyu hijau pernah ditemukan di Laut Izu
(Jepang) pada musim dingin ketika suhu mencapai 13°C. Pada suhu seperti ini,
gerakan penyu hijau menjadi lemah (Takeuchi 1983).
Salah satu habitat peneluran dan pakan penyu Hijau (Chelonia mydas) terbesar di Indonesia
adalah di Kepulauan Derawan. Penyu Hijau yang bertelur di kepulauan ini
diperkirakan berjumlah antara 4.000 – 5.500 ekor per tahun (Tomascik dkk., 1997). Namun menurut Spotila
(2004), populasinya sudah berubah menjadi hanya sekitar 1.800 ekor per tahun
penyu betina yang bertelur di kepulauan ini. Kepulauan yang terletak di
Kabupaten Berau – Kalimantan Timur ini memiliki beberapa lokasi peneluran bagi
penyu Hijau, di antaranya adalah pulau Sambit, pulau Bilang-bilangan, pulau
Maratua, pulau Derawan, pulau Mataha, pulau Balikukup, pulau Belambangan, dan
pulau Sangalaki.
Pulau
Sangalaki merupakan salah satu habitat peneluran penyu hijau yang utama di
Kepulauan Derawan. Penyu hijau bertelur sepanjang tahun di pulau dengan luas
daratan sekitar 15 hektar ini. Menurut Adnyana dkk. (2007), total pendaratan dan peneluran di Sangalaki per bulan
berturut-turut adalah antara 160 – 1.166
(rata-rata ± SD = 584 ± 234.5) dan 93 – 812 (354 ± 153), dengan aktivitas
peneluran tertinggi antara Mei – Oktober dan aktivitas peneluran terendah
antara bulan Nopember – April. Populasi pendaratan ini jauh menurun apabila
dibandingkan dengan perkiraan total pendaratan penyu di Sangalaki pada tahun
1950-an dan 1970-an (Lindsay dan Watson dalam
Adnyana dkk. (2007), yaitu 200 dan
150 ekor penyu per malam. Sementara sensus yang dilakukan oleh sebuah operator
selam Sangalaki antara bulan April 1993 sampai bulan Juli 1994 mendapatkan
populasi pendaratan penyu per malam yang lebih sedikit (39 ± 9.4) (G.F. Taylor dalam Tomascik dkk., 1997).
Penempatan
sarang, bagi hewan yang meletakkan telurnya seperti penyu, mempunyai
konsekuensi penting bagi kesuksesan reproduksinya. Menurut Bjorndal dan Bolten
(1992), ketika seekor penyu muncul dari laut ke pantai untuk bersarang, dia
biasanya memasuki lingkungan heterogen yang relatif luas, sehingga dia harus
memilih lokasi bersarangnya. Tempat dia bersarang dapat mempengaruhi kesuksesan
dan kebugaran reproduksinya dilihat dari kelangsungan hidupnya dan kelangsungan
hidup anakannya, dan rasio jenis kelamin dari anakannya.
Penyu
memilih daerah untuk bertelur pada dataran yang landai dan tidak terkena pasang.
Menurut Nuitja (1992), di pantai Sukamade jumlah sarang yang ditemukan pada
zona intertidal hanya sebesar 0,05%, sedangkan selebihnya ditemukan pada zone
supratidal yang mencapai 98,64%. Dari sarang yang berada di zone supratidal
tersebut, sekitar 25,00% berada di bawah naungan pohon, sedangkan lainnya
berada di daerah bebas naungan.
Berikut
ini adalah gambar habitat penyu yang paling sering dikunjungi penyu untuk
mendarat dan bertelur pada kegiatan Praktek kerja lapangan selama 30 hari di
Taman Wisata Pulau Sangalaki.
Gambar
3. Habitat peneluruan penyu
2.5 Karakteristik Biofisik Tempat
Peneluran Penyu
A.
Kemiringan
Pantai
Kemiringan
pantai sangat berpengaruh pada jumlah penyu yang akan mendarat dan membuat
sarang, karena kondisi pantai yang landai dan memiliki pasir yang halus dapat
memudahkan penyu menuju daratan untuk mencari lokasi dan membuat lubang sebagai
tempat peneluran. Habitat untuk bertelur penyu adalah daratan luas dan landai
dengan rata-rata kemiringan 30°, karena semakin curam pantai akan semakin
menyulitkan bagi penyu untuk melihat obyek yang lebih jauh di depan karena mata
penyu hanya mampu melihat dengan baik pada sudut 150° ke bawah (Dharmadi dan
Wiadnyana 2008). Selain itu penyu biasa
meletakkan sarangnya berjarak 30 sampai 80 meter diatas pasang terjauh (Nuitja
1992).
Menurut Dharmadi
dan Wiadnyana (2008) penyu menyukai daerah dengan kemiringan 30º untuk
bertelur. Kemiringan Pantai Pangumbahan dalam Segara (2008) pada Musim Timur
dan Musim Barat masih berada pada kisaran normal, sesuai dengan kesesuaian
tempat peneluran penyu pada umumnya. Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada
aksesbilitas penyu untuk mencapai daerah yang sesuai untuk bertelur. Semakin
curam pantai maka akan semakin besar pula energi penyu yang diperlukan untuk
naik dan bertelur.
B.
Besar
Butir Pasir
Pasir merupakan
tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur. Semua jenis penyu, termasuk
yang hidup di perairan Indonesia, akan memilih daerah tempat bertelur yang
khas. Tekstur pasir berhubungan dengan tingkat kemudahan dalam menggali sarang.
Pasir, liat dan debu merupakan hasil dari proses pecahan secara alami terhadap
batu-batu karang. Penyu hijau pada umumnya memilih pantai yang landai untuk
tempat penelurannya dengan susunan sedimen tidak kurang dari 90% berupa pasir
dan sisanya adalah debu maupun liat, dengan diameter butiran pasir halus dan
sedang (Nuitja 1992).
Umumnya tempat
pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta terletak di bagian
atas pantai atau di atas garis pasang tertinggi. Menurut Bustard (1972), pantai
berpasir tebal dan berhutan pandan lebat memberikan naluri pada penyu hijau
untuk bertelur. Keberadaan vegetasi naungan akan melindungi sarang dari sinar
matahari langsung sehingga mengurangi penguapan.
C.
Suhu
Pasir
Suhu pasir
sangat berpengaruh terhadap proses peneluran dan penetasan penyu, suhu pasir
yang terlalu tinggi (>35°C) akan menyulitkan penyu untuk membuat sarang,
sedangkan apabila suhu terlalu rendah (<25°C) akan berpengaruh terhadap masa
inkubasi dan tingkat keberhasilan penyu menetas (Dharmadi dan Wiadnyana 2008).
Pertumbuhan embrio penyu sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh
optimal pada kisaran suhu 24-33°C dan akan mati apabila diluar kisaran suhu
tersebut (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009).
Semakin tinggi
suhu pasir, maka telur akan cepat menetas. Penelitian terhadap telur penyu
hijau yang ditempatkan pada suhu pasir yang berbeda menunjukan bahwa telur yang
terdapat pada suhu pasir 32°C menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada
suhu pasir 24°C menetas dalam waktu lebih dari 80 hari (Direktorat Konservasi
dan Taman Nasional Laut 2009).
D.
Vegetasi
Penyu hijau
memiliki kecenderungan untuk memilih tempat bertelur daerah pantai yang
berlatar belakang vegetasi pohon pandan (Pandanus
tectorius) yang lebat, seperti terdapat di Pulau Berhala dan kepulauan
Heron di Australia (Bustard 1972). Penyu hijau cenderung membuat sarang di
bawah naungan pohon pandan laut, karena sistem perakaran pandan laut
meningkatkan kelembaban pasir, memberikan kestabilan pada pasir dan memberi
rasa aman pada penyu saat melakukan penggalian sarang. Tekstur pasir yang
relatif halus, vegetasi pantai yang didominasi oleh jenis tanaman kangkung laut
(Ipomea pescaprae) yang merambat,
pandan laut (Pandanus tectorius),
serta waru (Thespesia populnea)
merupakan habitat yang disukai oleh penyu hijau (Chelonia mydas) sebagai lokasi peneluran (Nuitja 1992).
Selain itu
menurut Nuitja 1992 kehadiran hutan-hutan yang lebat memberikan pengaruh yang
baik terhadap kestabilan populasi penyu yang bertelur. Jika pohon-pohon tumbuh
dengan lebat, maka daun-daun yang jatuh lama-kelamaan mengalami proses
dekomposisi menjadi partikel-partikel mineral dan langsung hanyut terbawa air
ke laut. Proses tersebut berlangsung secara terus menerus sehingga kesuburan
perairan dapat tetap terjamin. Kesuburan perairan menjadi kebutuhan biota yang
hidup di daerah tersebut, seperti tumbuhnya rumput laut dan tersediaanya
invertebrata laut berupa zooplankton, dimana invertebrata laut merupakan
makanan yang dibutuhkan oleh populasi penyu hijau yang masih juvenile (tukik).
E.
Pasang
Surut
Pasang surut
laut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh adanya interaksi antara laut,
matahari dan bulan. Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang
disebut pasang rendah. Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan pasang
rendah disebut rentang pasang surut (tidal
range). Kisaran pasang surut adalah perbedaan tinggi air pada saat pasang
maksimum dengan tinggi air pada saat surut minimum, rata-rata berkisar antara 1
m hingga 3 m (Nontji, 1987). Periode pasang surut adalah waktu antara puncak
atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Nilai periode
pasang surut bervariasi antara 12 jam 25
menit hingga 24 jam 50 menit (Musrifin 2011).
Terdapat tiga
tipe dasar pasang surut yang didasarkan pada periode dan keteraturannya, yaitu
pasang surut harian (diurnal), tengah
harian (semi diurnal) dan campuran (mixed tides). Dalam sebulan variasi harian dari rentang pasang surut berubah
secara sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga bergantung
pada bentuk perairan dan konfigurasi lantai samudera (Musrifin 2011).
Pengetahuan
tentang pasang surut sangat diperlukan dalam transportasi laut, kegiatan di
pelabuhan, pembangunan di daerah pesisir pantai, dan pengkajian kehidupan hewan
dan tumbuhan. Pasang surut merniliki hubungan yang erat dengan aktivitas
peneluran penyu hijau. Penyu hijau menghemat energi pada malam hari dengan cara
memanfaatkan air pasang untuk mencapai area yang kering (supratidal) baru
kemudian membuat sarang dan bertelur (Segara 2008).
F.
Cuaca
Cuaca adalah
keadaan udara pada suatu daerah yang sempit dalam waktu yang relatif singkat.
Unsur-unsur dari cuaca meliputi suhu udara, radiasi, tekanan udara, kelembapan
udara, keadaan awan, dan curah hujan. Cuaca dan laut memiliki interaksi yang
erat karena perubahan cuaca dapat mempengaruhi kondisi laut. Angin sangat
menentukan terjadinya gelombang dan arus di perrnukaan laut, sedangkan curah
hujan dapat menentukan salinitas air laut. Sebaliknya proses fisis di laut
seperti terjadinya air naik (upwelling) dapat
mempengaruhi keadaan cuaca setempat (Nontji 1987).
Tingkah laku
bertelur penyu sangat berkaitan dengan faktor cuaca. Menurut Nuitja, di
Pangumbahan penyu hijau akan muncul tidak dari hempasan ombak jika angin
bertiup kencang, terutama pada bulan punama dan bulan mati. Pada musim barat
angin bertiup kencang dan kadang kala disertai dengan badai yang sangat besar.
Angin yang kencang menyebabkan ombak menjadi besar dan menerbangkan
butiran-butiran pasir dan benda-benda ringan lainnya di sepanjang pantai. Dalam
periode itu daerah peneluran akan lebih keras dan lebih sulit untuk digali
akibat curah hujan yang tinggi. Kesulitan penggalian dan hujan yang jatuh
terus-menerus memberikan pengalaman bagi penyu untuk menunda proses
bertelurnya. Dapat disimpulkan bahwa unsur cuaca yang paling berpengaruh
terhadap pendaratan penyu adalah curah hujan yang turun di sekitar pantai
peneluran penyu (Nuitja 1992).
2.6
Tingkah Laku Penyu Hijau (Chelonia Mydas) saat akan bertelur
Oviposisi
(frekuensi kawin) berlangsung mulai dari sekali hingga beberapa kali dalam
periode setahun. Penyu hijau betina yang sudah siap untuk bertelur biasanya
naik ke pantai dengan susah payah untuk mendapatkan tempat yang aman jauh dari
gangguan predator, diatas garis pasang surut kemudian menggali lubang dengan
sirip depannya, lubang yang dibuat dangkal sebesar tubuhnya kemudian dengan
sirip belakang penyu hijau betina menggali lubang lebih kecil dan dalam untuk
menempatkan telurnya (Pedoman tekhnis
Konservasi Penyu,2009).
Jumlah
telur berkisar 20 sampai 200 butir tergantung jenisnya. Setelah selesai
bertelur penyu hijau betina menutup lubang telur dengan meratakan pasir agar
telur tidak diketahui oleh predator lalu penyu hijau betina kembali ke laut dan
kurang dari 60 hari telur-telur penyu menetas (Fitriyanto, 2006). Semua jenis
penyu laut bertelur lebih dari satu kali dalam periode satu musim. Tahapan
bertelur pada berbagai jenis penyu umumnya berpola sama. Tahapan yang dilakukan
dalam proses bertelur sebagai berikut :
Gambar 4. Tahapan Penyu bertelur (Tomascik,1997).
Penyu jantan maupun betina mudah ditemukan disekitar
pulau tempat si betina bertelur. Di pulau Sangalaki misalnya, penyu betina
acapkali teramati sedang beristirahat pada siang hari, sedangkan yang jantan
tampak berputar-putar dipermukaan menanti saat tepat untuk menyergap si betina
untuk dikawini. Perkawinan terjadi di area terumbu karang di sekitar pulau
(Tomascik,1997).
Penyu dalam perkembangbiakannya termasuk binatang
ovipar, pembuahan telur berlangsung dalam tubuh induk. Janin yang terkandung di
dalam telur yang dikeluarkan induk penyu sepenuhnya berkembang di luar tubuh.
Habitat penyu di dasar laut sesuai dengan kemampuannya berjalan jauh. Umumnya
penyu mencari makan di daerah dingin dan bertelur di daerah hangat (Nuitja,
1992). Pada saat kawin penyu jantan berada di atas penyu betina dengan cara
mencengkeram bahu penyu betina dan dibantu oleh kuku kepas depan. Penyu yang
mempunyai bekas cengkeraman di bahunya dipastikan mempunyai telur.
Setelah masa perkawinan penyu jantan kembali di laut
sedang penyu betina menuju pantai untuk bertelur. Penyu betina menggali pasir
di pantai dengan sepasang tungkai belakangnya untuk membuat lubang sarang
telur. Telur disimpan dalam lubang dan ditutup dengan rapi hingga menetas
dengan sendirinya. Setelah menyimpan telurnya, penyu betina kembali ke laut.
Kurang lebih 7 minggu masa inkubasi telur kemudian menetas dan menjadi tukik
(anak penyu). Tukik-tukik ini menuju habitatnya di laut mengikuti alunan ombak hingga menjadi
penyu dewasa. Penyu dewasa ini (penyu betina) akan menuju pantai lagi setelah
berpijah dengan penyu jantan, begitu seterusnya (Nuitja, 199).
Nuitja 1992, juga mengungkapkan Tingkat keberhasilan
penetasan telur penyu dipengaruhi 2 (dua) factor, yaitu eksternal (pengaruh
lingkungan) seperti suhu sarang, kelembaban sarang dan type substrat serta
dampak dari pemangsaan (predator); internal (pengaruh dari keadaan induk penyu)
seperti keturunan atau genetic serta umur dari induk. Dari ratusan butir telur yang dikeluarkan
oleh seekor penyu betina, paling banyak hanya belasan tukik (bayi penyu) yang
berhasil sampai ke laut kembali dan tumbuh dewasa. Itu pun tidak
memperhitungkan faktor perburuan oleh manusia dan pemangsa alaminya seperti kepiting, burung dan tikus di pantai, serta ikan-ikan besar begitu tukik tersebut
menyentuh perairan dalam. Tukik mempunyai kemampuan terhadap sinar dan reaksi
bumi untuk keluar. Sebelum keluar, tukik berada 3-7 hari di dalam sarang dgn
mengkonsumsi kuning telur yg tersisa. Tukik keluar dengan menggaruk-garuk
langit-langit sarang hingga ambles dan keluar dgn saling menindih. Setelah di
pantai, tukik menuju laut dengan bantuan hempasan gelombang. Selanjutnya tukik
berkembang jadi penyu muda hingga penyu dewasa. (Nuitja, 1992)
2.7
Pemindahan Telur dari Sarang Alami ke Sarang Semi
Alami
Metode yang digunakan dalam memindahkan telur adalah
metode transinkubasi, yaitu pemindahan telur- telur dari sarang alami ke dalam
sarang semi alami. Telur penyu diangkat dari dalam sarang menggunakan tangan
setelah diketahui induk selesai bertelur. Tanpa menghilangkan lendir dan pasir
yang menempel pada cangkang, telur yang didapat dari masing- masing induk di
tempatkan pada wadah (ember) yang berbeda. Telur- telur tersebut kemudian di
bawa ke daerah penetasan sarang semi alami permanen yang ternaungi secara
penuh, dan lokasi/sector pemidahan telur penyu harus tempat yang aman terhindar
dari pasang air laut, predator yang dapat memakan telur maupun dar manusia yang
dapat mengambil telur secara sengaja (Alfian, 1989).
2.8
Penanaman Telur
Silalahi
(1990), mengungkapkan bahwa Penanaman telur
dilakukan di lokasi/sektor penetasan semi alami dengan letak dan posisi sarang
mengikuti alur penanaman yang dilakukan dan ditentukan oleh pihak pengelola.
Bentuk sarang semi alami dibuat menyerupai sarang alami yaitu berbentuk seperti
labu ukur dengan lebar mulut sarang ±20 cm dengan kedalaman sesuai dengan sarang
alaminya ± 80 cm , Setelah pembuatan sarang dengan kedalaman yang ditentukan
selesai kemudian telur-telur diletakkan pada masing-masing sarang semi alami.
Ketika meletakkan telur penyu harus hati hati karena telur sangat sensitif dan
mudah robek ataupun pecah akibat dari cara pengambilan dan peletakan telur
salah.
2.9
Upaya Konservasi
Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan
ekosistem yang dilindungi, melestarikan atau dimanfaatkan secara berkelanjutan
untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan. Tujuan ditetapkannya
konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu untuk memberi acuan atau
pedoman dalam melindungi, melestarikan dan memanfaatkan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil serta ekosistemnya Konservasi penyu merupakan upaya yang
sangat penting untuk menjamin keberlangsungan populasi penyu tersebut
(Pedoman Pengelolaan Konservasi
Penyu dan Habitatnya, 2003).
Upaya pelestarian dan restocking penyu sudah mulai
dirintis sejak masa penjajahan Belanda, dan dasar–dasar peraturan yang telah
ada masih digunakan sampai sekarang. Dewasa ini, kegiatan pelestarian lebih
konkrit, bukan hanya pelarangan pemanfaatan penyu, tapi juga menyangkut
pembinaan terhadap individu yang dilindungi baik dalam kaitannya dengan habitat
ataupun dengan peri kehidupannya. Tujuannya, agar terjaga keberadaan populasi
penyu yang ada (Pedoman Pengelolaan
Konservasi Penyu dan Habitatnya, 2003).
Untuk
mewujudkan hal tersebut maka dilakukan beberapa langkah dalam upaya pengelolaan
kelestarian penyu, antara lain: Pengelolaan dan monitoring sarang penyu yang
meliputi sarang alami dan sarang semi alami, pengelolaan hatchery, penampungan
telur dan tukik, pengelolaan tukik dan pelepasan tukik. Secara tekhnis dalam
upaya pengelolaan penyu ada beberapa hal yang harus diperhatikan menurut (Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu dan
Habitatnya, 2003) menyangkut keberhasilan program
pengelolaan antara lain:
1.
Organisasi serta instansi yang bergerak
atau tertarik di bidang penyu hendaknya dapat saling menginformasikan aktivitas
dan hasil penelitian mereka, sehingga dapat memadukan usaha yang akan dicapai.
2.
Kelompok kerja di tingkat nasional
hendaknya mampu untuk mengumpulkan data, serta memberikan saran kepada
masyarakat mengenai konservasi penyu.
3.
Hal paling penting dalam pengelolaan
penyu di indonesia adalah mengembalikan populasi yang telah menurun. Prioritas
utamanya adalah untuk mengurangi atau menghentikan penangkapan untuk
kepentingan komersial, mengurangi/ menghentikan penangkapan yang tidak disengaja,
dan mengurangi/ menghentikan pengambilan telur penyu.
4.
Sangat disarankan untuk melakukan
kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi penangkapan penyu.
5.
Untuk mengurangi penangkapan yang tidak
disengaja hendaknya dapat dilakukan pertukaran informasi ataupun teknologi
dengan negara lain. Hal ini berkaitan dengan pengalaman mengenai turtle-excluding devices (TEDs) alat
yang apabila penyu tertangkap maka dapat dilepas kembali melalui kantung
belakang seperti alat pemisah ikan dan by
catch reduction devices (BRDs).
6.
Perlindungan habitat lain selain
perbiakan sangat diperlukan
7.
Badan atau organisasi yang memiliki
kemampuan di bidang kewenangan serta organisasi sangat disarankan untuk dapat
mengembangkan suatu proyek konservasi dan pembangunan terpadu (Integrated Conservation and Development
Project–ICDP) di lokasi peneluran utama. Menghindari pelaksanaan
penangkaran yang dikelola secara sembarangan, karena hal tersebut justrul akan
lebih banyak menimbulkan dampak negatif dibanding manfaatnya terhadap populasi.
8.
Pengumpulan individu untuk percobaan
dapat digunakan untuk mendukung pemanfaatan, pendidikan dan pariwisata.
9.
Di lokasi yang sepenuhnya dilindungi
tidak diperlukan adanya penangkaran. Telur–telur hendaknya dapat ditetaskan
secara alami, sehingga anakan penyu atau tukik dapat menuju kepantai dan
menandai lokasi pembiakannya. Hal ini akan memungkinkan tukik kembali lagi ke
tempat tersebut pada saat setelah tumbuh dewasa dan siap untuk berkembang biak.
2.10
Peraturan Mengenai Pengelolaan Penyu
Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan
upaya pengelolaan penyu sisik, diantaranya adalah :
1.
Pasal 33
Undang-undang Dasar 1945
2.
Undang-undang
No. 41 tahun 1944 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kehutanan:
3.
Keputusan
Presiden RI Nomor 43 tahun 1978 tanggal 15 Desember 1978 tentang ratifikasi
CITES.
4.
Undang-undang RI
No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan,
5.
Undang-undang RI
Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya
6.
Undang-undang RI
Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti
undang-undang RI Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup
7.
Peraturan
Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa
8.
Peraturan
Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa
liar
9.
Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 327/Kpts/Um/10/1978 tentang Beberapa Jenis Binatang
Liar yang Dilindungi
10. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
716/Kpts/Um/10/1980 tentang Penetapan Beberapa Jenis Binatang Liar yang
Dilindungi
11. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
771/Kpts-II/1996 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dari alam
maupun dari hasil penangkaran
12. Penyu hijau (Chelonia
Mydas) dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/1992.
13. MOU on ASEAN Sea turtle conservation and protection
menekankan kerjasama dalam perlindungan dan pelestarian penyu lingkup
negara-negara ASEAN. MOU ini ditanda tangani oleh perwakilan masing-masing
negara ASEAN pada bulan September 1997 di Thailand.
2.11
Permasalahan
Terkait Pengelolaan Penyu hijau
Menurut Harteti (2013),
Beberapa permasalahan yang menyangkut
konservesi dan pengelolaan sumberdaya penyu di Indonesia dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
A.
Pemanfaatan Penyu
Dalam
pemanfaatan penyu terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan dengan tidak
memperhatikan asas pelestarian lingkungan hidup dan keberkelanjutan sumberdaya
tersebut. Hingga seat ini pemanfaatan penyu masih belum seimbang antara tingkat
pemanfaatan dengan pertambahan tumbuhnya populasi. Eksploitasi yang berlebihan
tanpa menghiraukan pelestariannya, akan menyebabkan status populasi di alam
yang sudah langka itu semakin terancam punah.
Sebagai contoh
kasus pembantaian penyu di Bali. Memang dari jaman dahulu masyarakat Bali lazim
mengkonsumsi daging penyu untuk keperluan adat, khususnya penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu bagi masyarakat
Bali dipandang sebagai hewan suci (ulam suci) yang dapat digunakan sebagai
komponen hewan sesaji. Sejak tahun 1970an, Bali merupakan pusat konsumsi penyu
terbesar di Dunia. Dalam upacara-upacara adat dari keagamaan di Bali, tidaklah
aneh jika menghidangkan suguhan sate penyu. Kebutuhan akan daging penyu di Bali
tidak dipasok dari wilayah Bali saja, namun sekarang ini didatangkan dari luar
antara lain daerah Kepala Burung Irian (sekarang Sorong), Sulawesi Selatan
(daerah Takabone Rate), Maluku dan Nusa Tenggara. Selain di Bali (Denpasar
Selatan). Pembantaian penyu juga terjadi di kota-kota lainnya, seperti Manado,
Ambon, dan Ujung Pandang (Makasar).
B.
Penangkapan
dan perdagangan penyu secara tidak sah
Adanya
kegiatan penangkapan penyu di alam sulit dilakukan pengontrolan. Hal ini karena
pada umumnya daerah penangkapannya terletak di kawasan perairan yang terpencil
sehingga sulit untuk dijangkau, serta kurangnya sarana dan prasarana pengawasan
yang memadai. Disamping itu tingginya harga jual penyu mendorong berbagai pihak
untuk menangkap dan memperdagangkan penyu di berbagai daerah. Yang sangat
memprihatinkan adalah penangkapan terhadap penyu betina maupun jantan yang
dilakukan di perairan sekitar pantai peneluran, mengakibatkan penyu cepat akan
menuju kepunahan, penyu tersebut adalah penyu yang produktif. Banyak tujuan
yang ada dibalik perdagangan penyu, antara lair dimanfaatkan dagingnya untuk
santapan lezat, ataupun diambil karapasnya untuk souvenir dan juga lemaknya.
Apabila kegiatan penangkapan penyu yang tidak mengindahkan kelestarian
berlangsung terus menerus, dikhawatirkan akan menimbulkan kelangkaan jenis yang
pada gilirannya nanti menyebabkan punahnya jenis-jenis penyu tersebut.
C.
Pemanfaatan
telur penyu
Di beberapa
daerah peneluran penyu yang potensial, telah dikontrakkan kepada pihak swasta
oleh Pemerintah Daerah, seperti di pantai Pengumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat dan Kepulauan Riau. Walaupun dalam Peraturan Daerah sudah dicantumkan ketentuan
untuk menetaskan telur sebagai upaya pelestarian (restocking), serta menutup masa pengambilan telur pada waktu-waktu
tertentu atau sasi (close season),
namun dalam kenyataannya para pengontrak masih banyak yang belum melaksanakan
ketentuan-ketentuan sesuai kaidah-kaidah pelestarian alam. Disamping itu masih
banyak pengumpulan telur penyu secara tidak sah, yang dapat mengakibatkan
terancamnya populasi penyu di alam.
D.
Gangguan habitat penyu dan pencemaran
Habitat
pakan merupakan lingkungan di mana dapat di temukan penyu dan berbagai kelompok
usia dan jenis kelamin. Habitat pakan bersifat khas untuk tiap-tiap species,
tergantung jenis makanan species penyu tersebut. Penyu hijau yang bersifat
herbivor mempunyai habitat pakan diperairan dangkal yang kaya rumput taut dari
jenis tertentu dan juga algae. Sementara penyu sisik yang camivor umumnya
berupa lingkungan perairan kepulauan yang kaya akan sponge, sedangkan penyu
betimbing makanannya adalah ubur-ubur.
Menurunnya
populasi penyu di alam selain diakibatkan oleh terjadinya tingkat pemanfaatan
yang kurang terkendali dan bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan
sumberdaya alam hayati yang terperbarukan. Pertentangan ini antara lain :
penangkapan dan pembantaian dengan menggunakan alat-alat tombak, panah dan
jaring. Di samping itu ada gangguan terhadap terumbu karang dan padang lamun
sebagai habitat penyu dan wilayah pesisir dengan hutan pantainya sebagai tempat
bertelur yang diakibatkan oleh adanya berbagai kegiatan pembangunan yang dapat
menurunkan daya dukung lingkungan, misalnya : pembangunan hotel-hotel, tambak,
pelabuhan, pengerukan, pabrik-pabrik dan penambangan serta pengeboran minyak.
Sifat
khas wilayah pesisir yang mempunyai banyak kegunaan (multiple use) masih menimbulkan pertentangan kepentingan antar
berbagai instansi, khusus dalam pengembangan wilayah Pesisir dan pantai seperti
kegiatan reklamasi, perlu ada koordinasi di antara instansi terkait.
E.
Mata
pencaharian masyarakat dan pendapatan daerah
Sampai saat ini
penyu masih merupakan salah satu sumber mata pencaharian bagi beberapa kelompok
masyarakat adat tertentu. Kegiatan perburuan jarang dilakukan secara langsung
di habitat pakan namun lebih intensif dilakukan di habitat peneluran, dengan
sasaran penyu betina dewasa ataupun telurnya, di Karenakan induk penyu sedang
bertelur sehingga mudah ditangkap.
Di daerah
tertentu terutama di lokasi peneluran penyu yang sudah dikontrakkan kepada
pihak swasta merupakan salah satu pemasukan bagi pendapatan daerah setempat, sehingga
perlu adanya peraturan dari pihak pemerintah bagaimana pelestarian penyu
tersebut.
Kesadaran
masyarakat terhadap pemanfaatan penyu disadari bahwa dikalangan masyarakat
khususnya nelayan setempat (konsumen primer) dan aparat terkait masih pertu
ditanamkan kesadaran yang mendalam akan pentingnya kaidah kaidah pelestarian
dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan terutama penyu secara
rasional.
Kegiatan
penyuluhan tentang status populasi dan biologi penyu maupun hukum yang
berkaitan dengan pemanfaatan perlu melibatkan pemerintah daerah, pemuka adat,
pemuka agama, generasi mudah, masyarakat ilmiah serta pencinta alam.
F.
Pengawasan
Dalam hal
pengawasan dan pengendalian terhadap penyu untuk menjamin terselenggaranya
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati, maka perlu dilakukan pengawasan
dan pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang pengelolaan penyu.
Hal ini disebabkan antara lain oleh jauhnya jarak lokasi, kurangnya jumlah aparat,
sarana dan prasarana, akibat kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian
sebagai dampak masih terjadi pemanfaatan penyu tanpa diikuti dengan upaya
pelestariannya. Masih banyak pantai peneluran penyu yang belum ditunjuk sebagai
kawasan konservasi alam sehingga tidak terkelola dan terawasi oleh instansi
yang berwenang.
Ancaman manusia
terhadap populasi penyu laut sudah sampai kepada tingkat yang memprihatinkan selain
mengambil telur-telu yang berada dipantai mereka juga mengambil penyu laut
dewasa yang berada di sekitar perairan. Kegiatan pemburuan dan perdangangan
mereka sudah terorganisir rapi dengan jaringan operasi mencakup wilayah
perairan Indonesia.
Pengawasan dan
ppenyelamatan penyu laut yang dilakukan di Wilayah Indonesia nampaknya masih
belum menjamin populasi penyu laut yang tersebar diperairan dan pantai di Indonesia
yang bukan kawasan konservasi. Dalam hal ini pengamatan dan penindakan serta
insektoral perlu ditingkatkan mengingat bahwa upaya ini merupakan tanggung
jawab bersama.
Belum lagi
ancaman terhadap sarang telur penyu dari hewan-hewan liar cukup besar, hewan
seperti biawak (varanus salfator),
burung pantai dan kepiting pantai merupakan predator yang sangat kejam terhadap
telur penyu yang baru menetas (tukik).
G.
Penegak
hukum
Adanya
kecenderungan pemanfaatan sumberdaya hayati laut sebagian besar diambil dari
alam, hanya sebagian kecil saja dari hasil budidaya, Di samping itu pemanfaatan
yang kurang bijaksana dan bertentangan dengan kaidah kaidah pengelolaan
sumberdaya alam misalnya pemanfaatan melebihi potensi sumberdaya yang tersedia
atau dengan menggunakan alat-alat dari bahan bahan kimia berbahaya yang dapat
merusak sumberdaya hayati laut dan lingkungannya. Hal ini dapat membahayakan
Iingkungan hidup dan menghambat upaya pelestarian sumberdaya hayati laut
termasuk penyu.
Salah satu hal
yang sangat penting dalam upaya pengelolaan penyu sisik adalah penegakkan hukum
(law enforcement).
Peraturan-perundangan telah banyak diterbitkan. Tujuannya agar pengelolaan
dapat dilakukan secara terpadu. Namun pada implementasi, sering peraturan
dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi maupun hukuman yang tegas,
walaupun sudah dinyatakan eksplisit dalam aturan. Pengawasan oleh pihak
berwenang (lebih dominan dari Pemerintah) tidak dilakukan.
Penegakan hukum
perlu terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Cara– cara dan upaya
antara lain dapat berupa:
a. Sosialisasi
peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan pantai kepada semua stakeholders.
b. Substansi
tentang aturan dan sanksinya perlu disosialisasikan lebih detail. Misalnya
dengan cara pemasangan papan aturan dan sanksi di tempat-tempat strategis.
c. Perlu
shock therapy yaitu dengan misalnya
menerapkan sanksi, denda, atau hukuman maksimal dari aturan yang ada. Hal ini
dimaksudkan agar stakeholders menjadi jera dan mau mentaati aturan yang
berlaku.
d. Perlu
lembaga pengawasan yang melekat pada instansi. Lembaga ini berfungsi mengawasi
pengelolaan pantai baik internal maupun eksternal.
e. Karena
isu-isu yang kompleks tersebut maka diperlukan kolaborasi yang baik antara
institusi penentu kuantitas dan kualitas air dengan institusi penegakan hukum.
f. Implementasi
penegakan hukum dilakukan dengan cara bertahap
Dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut agar benar-benar terlaksana sebagai wujud law enforcement, bisa dilakukan
modifikasi disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah, misalnya :
1. Identifikasi
hukum adat serta revitalisasi lembaga adat (Nagari) dan lokal yang
berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya penyu sisik.
2. Peningkatan
kesadaran, kemampuan, dan kepedulian masyarakat pesisir terhadap perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan produk hukum pengelolaan biota langka.
3. Peningkatan
pengawasan, pengamanan dan penegakan hukum.
H.
Koordinasi
Masalah
pengelolaan penyu menyangkut berbagai macam kepentingan yang melibatkan
berbagai instansi dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat.
Oleh karena itu dalam melaksanakan pengelolaan penyu perlu adanya koordinasi
antara instansi terkait sehingga tidak terjadi pengelolaan yang tumpang tindih
dan terhindarnya produk hukum yang berbeda tentang pengelolaan penyu.
III. METODELOGI
3.1
Waktu dan Tempat
Praktek
Kerja Lapangan dilaksanakan selama tiga puluh hari yaitu dari tanggal 11 Januari sampai dengan
09 Februari 2017 di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki Kabupaten Berau Provinsi
Kalimantan Timur.
Peta
Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki dapat dilihat dibawah ini :
Gambar 5. Peta Taman Wisata Alam
Pulau Sangalaki
Secara
administratif Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki terletak di Kecamatan Pulau
Derawan Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur dan terletak pada koordinat
geografis 02° 1’ 11” Lintang Utara dan 115° 45’ 14” Bujur Timur. Luas TWA. Pulau Sangalaki termasuk wilayah
perairannya adalah seluas + 280 ha,
sedangkan luas pulau/daratannya + 15.9 ha.
Batas wilayah TWA. Pulau Sangalaki adalah :
·
Sebelah Timur
berbatasan dengan Pulau Gasingan
·
Sebelah Barat
berbatasan dengan Pulau Lungsuran Naga
·
Sebelah Utara
berbatasan dengan Pulau Kakaban dan Pulau Semama - Sebelah
·
Selatan
berbatasan dengan Pulau Karang Malalungan
Secara geologis, Pulau
Sangalaki diidentifikasi sebagai gosong yaitu timbunan pasir pantai dengan satuan morfologi berupa dataran pantai
yang datar. Pulau ini mempunyai laguna dangkal
berdasar pasir dan ditumbuhi oleh karang dan lamun. Lebar pantai antara 12 -15 meter dengan
material penyusun berupa fragmen karang dan butiran-butiran pasir kasar. Sistem lahan Pulau Sangalaki merupakan sistem
lahan puting (PTG) yaitu pantai dengan kemiringan 2 % dan tipe batuan yang
berasal dari laut.
Kondisi iklim Kawasan
Konservasi Laut Berau (KKL Berau) termasuk didalamnya Pulau Sangalaki, sangat
dipengaruhi oleh kondisi iklim di Samudera Pasifik. Secara umum, iklim kawasan ini terdiri dari musim hujan dan musim
kemarau. Musim hujan berlangsung pada
bulan Oktober hingga Mei dengan jumlah
hari hujan rata-rata 15 – 20 hari per bulannya.
Curah hujan terbesar terjadi pada akhir atau awal musim hujan. Musim kemarau berlangsung antara bulan Juli
sampai September dengan curah hujan terendah pada bulan Juli.
Suhu
udara rata-rata berkisar antara 24.8 ºC – 27.9 ºC. Suhu udara minimum berkisar antara 19ºC –
23.2ºC, sedangkan suhu udara maksimum Intensitas curah hujan berkisar antara
0.6 – 21.8 mm.
Tabel 1. Kondisi hidrologi dan hidrooceanografi di
wilayah perairan TWA. Pulau Sangalaki.
|
No.
|
Parameter
|
Lokasi
|
Kisaran
Nilai
|
|
1.
|
Suhu
|
a.
Permukaan
b.
Kedalaman dekat dasar
|
29,5°
– 30,5° C 21,0° – 28,0° C
|
|
2.
|
Salinitas
|
a.
Permukaan
b.
Kedalaman dekat dasar
|
33,5 °/°°
34,0
– 34,5 °/°°
|
|
3.
|
Oksigen
|
-
|
3,50
– 4,500 ml/l
|
|
4.
|
Nitrat
(No3)
|
a.
Permukaan
b.
Kedalaman dekat dasar
|
0,4
– 1,8 mg/l > 1,2 mg/l
|
|
5.
|
Fisfat
|
a.
Permukaan
b.
Kedalaman dekat dasar
|
0 – 1,2 mg/l
1,2
– 2,4 mg/l
|
Sumber : Laporan hasil penelitian
LIPI – Bappeda Prov. Kaltim Tahun 1994.
3.2
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Praktek
Kerja Lapangan ini dilaksanakan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Berau Merupakan Bagian Dari BKSDA Kalimantan Timur Dengan Sturuktur Organisasi
Lingkup Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur.
Gambar 6. Sturktur BKSDA
Kalimantan Timur
Demi
menjaga kelestarian penyu pengujung dapat mentaati beberapa hal sebagai berikut
:
1.
Tidak membuang
sampah dipantai
2.
Tidak menyalakan
lampu dipantai pada malam hari tanpa seijin petugas
3.
Dilarang
mengelilingi pulau terutama pada malam hari tanpa didampingi oleh petugas
4.
Dilarang
berkemah di sepanjang pantai
5.
Tidak
diperkenakan memberikan perlakuan (makan dll), kepada satwa liar atau perlakuan
terhadap tumbuhan liar (pemotongan/penebangan pohon)
6.
Dilarang
mengambil apapun dari pulau kecuali foto atau gambar (Sumber : Seksi Konservasi
Wilayah I Berau Kalimantan Timur)
3.3
Alat dan Bahan
Adapun
alat dan bahan yang digunakan pada saat melakukan kegiatan Praktek Kerja
Lapangan di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki yaitu:
Tabel
2. Alat dan bahan kegiatan Praktek Kerja Lapangan
|
No
|
Nama Alat
|
Kegunaan
|
|
1
|
Stik
|
Untuk mengtahui letak telur penyu
|
|
2
|
Batok Kelapa
|
Membantu pengalian sarang telur
|
|
3
|
Ember
|
Wadah menaruh telur penyu
|
|
4
|
Senter
|
pencahayaan
|
|
5
|
Sabak
|
Alat bantu tulis
|
|
6
|
Kamera
|
dokumentasi
|
3.4
Jenis Kegiatan Praktek Kerja Lapangan
Adapun
kegiatan yang dilakukan pada saat melakukan Praktek Kerja Lapangan Di Taman
Wisata Alam Pulau Sangalaki adalah sebagi berikut :
A.
Monitoring
Monitoring merupakan salah satu kegiatan yang
bertujuan untuk mengetahui setiap kejadian pada suatu lokasi. Dalam hal ini
kegiatan monitoring di Pulau Sangalaki bertujuan untuk memantau setiap penyu
yang naik disekitar pantai, kegiatan monitoring dilakukan pada saat malm hari
dan pagi hari.
Untuk memudahkan dalam melakukan monitoring,
pengecekan penyu yang naik, jumlah sarang dan jumlah tukik yang mentas, Pulau
Sangalaki di bagi menjadi 15 sektor dimana sector mempunyai panjang 25 m. dalam
satu sector, dibagi mejadi 4 sub bagian yaitu A,B,C dan D. Peta Lokasi
Monitoring dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.
Gambar 7. Peta potensi pendaratan
penyu dan letak sector di Pulau Sangalaki (Sumber : SKW I Berau)
B.
Relokasi
Dalam
monitoring penyu di Pulau sangalaki hal yang penting diperhatikan adalah
relokasi. Relokasi adalah proses pemindahan telur dari tempat yang tidak aman
ketempat yang lebih aman. Misalnya tergantung air laut pada saat air pasang,
gangguan predator serta keadaan lokasi yang memungkinkan menghambat
perkembangan telur penyu seperti akar-akar pohon dan sampah. Apabila penyu
bertelur dekat dari hatchery dan dalam kondisi yang tidak aman, maka akan
direlokasi ke hathcery tetapi apabila sarang telur yang tidak aman jauh dari
hatchery cukup dipindahkan ketempat yang lebih aman disekitarsarang tersebut.
Hal ini dilakukan untuk menghindari guncangan yang dapat menyebabkann gagalnya
penetasan.
Berikut
ini langkah langkah untuk relokasi adalah sebagai berikut :
1. Pencarian
posisi sarang telur peyu dalam timbunan pasir. Untuk mendapatkan posisi telur
bukan hal yang mudah, butuh keterampilan khusus untuk mendapatkannya, contohnya
saat menusuk lubang sarang dengan mengunakan stik
2. Setelah
posisi sarang ditemukan kemudian digali dengan hati hati.
3. Setelah
telur penyu kelihatan diangkat secara perlahan lahan agar tidak pecah/rusak dan
dimasukkan kedalam wadah secara perlahan lahan
4. Ada
dua pilihan tempat untuk memindahkan telur pertama ke hatchery dan apabila
posisi sarang yang akan direlokasikan jauh dari hathery kita bisa memindahkan
ketempat yang dekat dan aman.
5. Kemudian
menggali lubang untuk tempat memasukkan telur penyu yang akan dipindahkan.
Ukuran dan bentuk sarang juga dibuat menyerupai ukuran dan bentuk sarang yang
aslinya dengan kedalam antara 60-100 cm
6. Setelah
itu telur penyu disusun kedalam galian lubang tersebut secara teliti agar tidak
pecah
7. Sebelum
telur penyu tersebut ditimbun diberi identitas dengan menggunakan pita berisi
informasi yang terdiri dari tanggal relokasi jumlah telur, relokasi dari sector
kesektor dan relokator.
C.
Penetasan secara semi alami (Hatchery)
Proses
penetasan telur penyu secara semi alami dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Telur
penyu yang diambil dari sarang alami dipindahkan ke lokasi penetasan semi
alami.
2. Masukkan
telur penyu kedalam media penetasan dimana kapasitasnya media dalam menampung
telur disesuaikan dengan besar kecilnya media.
3. Lama
penetasan telur penyu sampai telur enyu menetas menjadi tukik 50-60 hari
4. Lepaskan
segera tukik yang baru menetas ke laut
5. Untuk
kepentingan pendidikan,, penelitian dan wisata sisihkan sebagian tukik yang
baru menetas kedalam wadah.lokasi penetasan telur penyu secara semi alami
biasanya berada pada didaerah supratidal, yaitu daerah dimana sudah tidak ada
pengaruh pasang tertinggi. Pada lokasi tersebut, dapat dibuat beberapa
lubang-lubang telur penyu buatan sebagai tempat penetasan telur semi alami.
IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Adapun
hasil monitoring yang didapatkan pada saat pelaksanaan Praktek Kerja lapangan
dari tanggal 11 Januari sampai dengan 09 Februari 2017 di Taman Wisata Alam
Pulau Sangalaki disajikan dalam Tabel 4 berikut ini.
Keterangan
: M :
Mendarat
B : Bertelur
TB : Tidak Bertelur
Tabel
3. Hasil monitoring pendaratan penyu
|
No
|
Tanggal
|
M
|
B
|
Sektor
|
TB
|
SEKTOR
|
|
1
|
11/1/2017
|
4
|
4
|
1D, 7A,7C,1D
|
1
|
9B
|
|
2
|
12/1/2017
|
6
|
5
|
3C, 7D, 8A, 11C, 15B
|
1
|
15B
|
|
3
|
13/1/2017
|
3
|
2
|
11D, 13C
|
||
|
4
|
14/1/2017
|
6
|
6
|
2B,2D,4A,5A,8A,8A
|
||
|
5
|
15/1/2017
|
4
|
4
|
4C, 4C, 13A, 13D
|
||
|
6
|
16/1/2017
|
6
|
4
|
3A,13A,15B,2A
|
2
|
11C,14B
|
|
7
|
17/1/2017
|
6
|
4
|
2C,3C,4B,5B
|
2
|
4B,10B
|
|
8
|
18/01/2017
|
2
|
2
|
5A,13A
|
||
|
9
|
19/01/2017
|
8
|
5
|
1C,5B,5B,12D,1B
|
3
|
11C, 13B,13B
|
|
10
|
20/01/2017
|
8
|
4
|
7C,11B,12C,15A
|
4
|
3C,3C,9C,12D
|
|
11
|
21/01/2017
|
11
|
3
|
1A,1A,13C
|
8
|
1B,3,7D,11A,13C,13B,15A,15A
|
|
12
|
22/01/2017
|
8
|
3
|
3C,7C,7D
|
5
|
14C,15A,2B,8A,11D
|
|
13
|
23/01/2017
|
4
|
4
|
5A,7A,7B,11C
|
||
|
14
|
24/01/2017
|
3
|
3
|
4D,10B,11A
|
||
|
15
|
25/01/2017
|
6
|
3
|
7D,7D,7C
|
2
|
11B,12B
|
|
16
|
26/01/2017
|
4
|
3
|
7C,12A,7B
|
1
|
11D
|
|
17
|
27/01/2017
|
4
|
3
|
4B,7C,11B
|
1
|
7D
|
|
18
|
28/01/2017
|
5
|
3
|
4D,3A,11D
|
2
|
12D,11B
|
|
19
|
29/01/2017
|
2
|
2
|
13C,2A,2A,3B
|
1
|
|
|
20
|
30/01/2017
|
3
|
3
|
11D, 4D
|
1
|
10B
|
|
21
|
31/01/2017
|
7
|
5
|
12B, 11D, 7D, 7C,
|
2
|
13C,4C
|
|
5B, 14A
|
||||||
|
22
|
1/2/2017
|
8
|
5B, 7C, 7D, 11B,
|
2
|
13C,4C
|
|
|
12B, 14A
|
||||||
|
23
|
2/2/2017
|
2
|
2
|
1D, 1D
|
||
|
24
|
3/2/2017
|
4
|
3
|
1C, 4D, 7D
|
1
|
2C
|
|
25
|
4/2/2017
|
7
|
5
|
2A, 4A, 7C, 8A, 12B
|
2
|
10B,10B
|
|
26
|
5/2/2017
|
3
|
2
|
9B,14B
|
1
|
10A
|
|
27
|
6/2/2017
|
6
|
6
|
1A, 3C, 7C, 7D,
|
||
|
7D, 13B
|
||||||
|
28
|
7/2/2017
|
4
|
3
|
1A, 7C, 13A
|
2
|
9D,14A
|
|
29
|
8/2/2017
|
5
|
2
|
4C,10A
|
3
|
5C,7B,9B
|
|
30
|
9/2/2017
|
4
|
2
|
12C, 7B
|
|
13C,8A
|
Sumber
: Data Praktek Kerja Lapangan
Sedangkan
data hasil relokasi telur penyu saat pelaksanaan Praktek Kerja lapangan dari
tanggal 11 Januari sampai dengan 09 Februari 2017 di Taman Wisata Alam Pulau
Sangalaki disajikan dalam Tabel 5 berikut ini.
Tabel
4. Data relokasi telur penyu
|
No.
|
Tanggal
|
Sektor
|
Sektor Relokasi
|
Jumlah Telur Penyu
|
||
|
|
|
|
|
Dari Sarang
|
Pecah / Rusak
|
Yang Direlokasi
|
|
1
|
11 01 2017
|
7C
|
13D
|
104
|
|
104
|
|
2
|
11 01 2017
|
7A
|
13D
|
81
|
1
|
80
|
|
3
|
12 01 2017
|
11C
|
13D
|
101
|
1
|
100
|
|
4
|
12 01 2017
|
15B
|
13D
|
101
|
1
|
100
|
|
6
|
13 01 2017
|
13C
|
13D
|
96
|
1
|
95
|
|
7
|
14 01 2017
|
8A
|
13D
|
143
|
6
|
137
|
|
8
|
14 01 2017
|
5A
|
13D
|
90
|
2
|
88
|
|
9
|
14 01 2017
|
4A
|
13D
|
101
|
|
101
|
|
10
|
14 01 2017
|
2D
|
13D
|
111
|
1
|
110
|
|
11
|
14 01 2017
|
2B
|
13D
|
89
|
2
|
87
|
|
12
|
15 01 2017
|
4C
|
13D
|
95
|
1
|
94
|
|
13
|
15 01 2017
|
13B
|
13D
|
72
|
1
|
71
|
|
14
|
15 01 2017
|
4B
|
13D
|
117
|
1
|
116
|
|
15
|
16 01 2017
|
13A
|
13D
|
101
|
1
|
100
|
|
16
|
16 01 2017
|
3A
|
13D
|
74
|
1
|
73
|
|
17
|
16 01 2017
|
15B
|
13D
|
82
|
|
82
|
|
18
|
17 01 2017
|
5B
|
13D
|
85
|
1
|
84
|
|
19
|
17 01 2017
|
4B
|
13D
|
102
|
2
|
100
|
|
20
|
17 01 2017
|
3C
|
13D
|
113
|
6
|
107
|
|
21
|
17 01 2017
|
2C
|
13D
|
92
|
2
|
90
|
|
22
|
18 01 2017
|
13A
|
13D
|
108
|
3
|
105
|
|
23
|
18 01 2017
|
5A
|
13D
|
90
|
1
|
89
|
|
24
|
19 01 2017
|
13B
|
13D
|
104
|
|
104
|
|
25
|
19 01 2017
|
12D
|
13D
|
112
|
2
|
110
|
|
26
|
19 01 2017
|
5B
|
13D
|
103
|
3
|
100
|
|
27
|
19 01 2017
|
5B
|
13D
|
108
|
2
|
106
|
|
28
|
19 01 2017
|
1C
|
13D
|
115
|
2
|
113
|
|
29
|
20 01 2017
|
7C
|
13D
|
85
|
|
85
|
|
30
|
20 01 2017
|
11B
|
13D
|
121
|
1
|
120
|
|
31
|
20 01 2017
|
12C
|
13D
|
87
|
1
|
86
|
|
32
|
20 01 2017
|
15A
|
13D
|
99
|
2
|
97
|
|
33
|
21 01 2017
|
1A
|
13D
|
94
|
|
94
|
|
34
|
21 01 2017
|
1A
|
13D
|
109
|
2
|
107
|
|
35
|
21 01 2017
|
13C
|
13D
|
118
|
1
|
117
|
|
36
|
22 01 2017
|
3C
|
13D
|
108
|
-
|
108
|
|
37
|
22 01 2017
|
7C
|
13D
|
129
|
1
|
128
|
|
38
|
22 01 2017
|
7D
|
13D
|
94
|
|
94
|
|
39
|
24 01 2017
|
4D
|
13D
|
60
|
1
|
59
|
|
40
|
24 01 2017
|
10B
|
13D
|
57
|
1
|
56
|
|
41
|
24 01 2017
|
11A
|
13D
|
92
|
1
|
91
|
|
42
|
25 01 2017
|
7D
|
13D
|
89
|
2
|
87
|
|
43
|
25 01 2017
|
7B
|
13D
|
107
|
-
|
107
|
|
44
|
25 01 2017
|
7C
|
13D
|
83
|
|
83
|
|
45
|
26 01 2017
|
7B
|
13D
|
52
|
|
52
|
|
46
|
26 01 2017
|
7C
|
13D
|
123
|
|
123
|
|
47
|
26 01 2017
|
12A
|
13D
|
58
|
6
|
52
|
|
48
|
27 01 2017
|
4B
|
13D
|
105
|
-
|
105
|
|
49
|
27 01 2017
|
7C
|
13D
|
85
|
1
|
84
|
|
51
|
28 01 2017
|
3A
|
13D
|
94
|
-
|
94
|
|
52
|
28 01 2017
|
4D
|
13D
|
107
|
-
|
107
|
|
53
|
29 01 2017
|
13C
|
13D
|
102
|
-
|
102
|
|
54
|
29 01 2017
|
2A
|
13D
|
100
|
1
|
99
|
|
55
|
30 01 2017
|
11B
|
13D
|
89
|
7
|
82
|
|
56
|
30 01 2017
|
4D
|
13D
|
111
|
1
|
110
|
|
57
|
31 01 2017
|
7D
|
13D
|
95
|
2
|
93
|
|
58
|
31 01 2017
|
7C
|
13D
|
98
|
8
|
90
|
|
59
|
31 01 2017
|
5B
|
13D
|
103
|
|
103
|
|
60
|
01 02 2017
|
5B
|
13D
|
103
|
-
|
103
|
|
61
|
01 02 2017
|
7C
|
13D
|
98
|
8
|
90
|
|
62
|
01 02 2017
|
7D
|
13D
|
95
|
2
|
93
|
|
63
|
02 02 2017
|
1D
|
13D
|
102
|
3
|
99
|
|
64
|
02 02 2017
|
1D
|
13D
|
104
|
-
|
104
|
|
65
|
03 02 2017
|
1C
|
13D
|
102
|
1
|
101
|
|
66
|
03 02 2017
|
4D
|
13D
|
94
|
-
|
94
|
|
68
|
04 02 2017
|
2A
|
13D
|
105
|
-
|
105
|
|
69
|
04 02 2017
|
4A
|
13D
|
42
|
-
|
42
|
|
70
|
04 02 2017
|
7C
|
13D
|
124
|
-
|
124
|
|
71
|
04 02 2017
|
8A
|
13D
|
82
|
-
|
82
|
|
72
|
04 02 2017
|
12B
|
13D
|
97
|
2
|
95
|
|
73
|
05 02 2017
|
9B
|
13D
|
108
|
|
108
|
|
74
|
05 02 2017
|
14B
|
13D
|
82
|
1
|
81
|
|
75
|
06 02 2017
|
13B
|
13D
|
64
|
5
|
59
|
|
76
|
06 02 2017
|
7D
|
13D
|
65
|
1
|
64
|
|
77
|
06 02 2017
|
1A
|
13D
|
110
|
3
|
107
|
|
82
|
07 02 2017
|
7C
|
13D
|
91
|
2
|
89
|
|
83
|
07 02 2017
|
1A
|
13D
|
31
|
4
|
27
|
|
84
|
07 02 2017
|
13A
|
13D
|
110
|
3
|
107
|
|
85
|
08 02 2017
|
10A
|
13D
|
82
|
|
82
|
|
86
|
08 02 2017
|
4C
|
13D
|
94
|
|
94
|
|
87
|
09 02 2017
|
12C
|
13D
|
127
|
1
|
126
|
|
88
|
09 02 2017
|
7D
|
13D
|
92
|
1
|
91
|
|
|
Jumlah
|
|
|
7,748
|
120
|
7,628
|
|
|
rata-rata
|
|
|
95.65
|
1.79
|
94.17
|
4.2
Pembahasan
Berdasarkan
hasil dari monitoring dilapangan dan berikut ditampilkan dalam bentuk grafik
yaitu sebagai berikut :
Gambar 8. Grafik
hasil monitoring pendaratan penyu pada kegiatan Praktek Kerja Lapangan
Dari hasil grafik
monitoring diatas diperoleh data bahwa setiap malam penyu di Pulau Sangalaki
ada yang mendarat, tetapi belum tentu bertelur. Penyu yang mendarat ke pantai
tetapi tidak bertelur akibat dari adanya gangguan kepada penyu tersebut
sehingga tidak jadi bertelur. Yang mengakibatkan penyu tidak jadi bertelur
adalah gangguan dari batang pohon, gangguan manusia dan tidak cocoknya kondisi
pasir tempat penyu akan bertelur sehingga tidak jadi bertelur. Penyu melakukan pendaratan
untuk bertelur pada pantai yang landai dan
luas biasanya juga penyu melakukan peneluruan dibawah pohon tetapi banyak juga
penyu yang melakukan peneluruan di area terbuka. Hasil observasi yang kami
lakukan pada kegiatan Praktek Kerja Lapangan Di Pulau Sangalaki tidak beda jauh dengan yang penelitian yang dilakukan di
Sukamade oleh Nuitja pada tahun 1992,
Di pantai Sukamade jumlah sarang
yang ditemukan pada zona intertidal hanya sebesar 0,05%, sedangkan selebihnya
ditemukan pada zone supratidal yang mencapai 98,64%. Dari sarang yang berada di
zone supratidal tersebut, sekitar 25,00% berada di bawah naungan pohon,
sedangkan lainnya berada di daerah bebas naungan.
Hasil
monitoring pada kegiatan Praktek Kerja lapangan di Pulau Sangalaki yang
terdapat pada tabel diatas, diperoleh
bahwa sector yang paling sering di kunjungi oleh penyu yaitu pada sector pada
sector 7 sebanyak 22 ekor penyu yang
mendarat pada sector tersebut. Lebih dominannya pendaratan penyu pada
sector 7 akibat dari landai dan luasnya kondisi pantai di sector 7 yang tidak
terkena pasang surut air laut sehingga penyu lebih banyak mendarat pada sector
7. Sedangkan pada sector lain kondisi pantainya tidak landai dan juga tidak luas
untuk penyu mendarat untuk bertelur, sebenarnya sector 2 memiliki kondisi yang
cukup luas untuk pendaratan penyu tetapi tingkat kemiringannya lebih tinggi
dari pada sector 7 dan juga pada sector 2 terdapat bangunan resort yang
memiliki cahaya penerangan akibatnya penyu hanya ada beberapa yang mendarat
pada sector 2.
Sedangkan harmadi dan
Wiadnyana (2008) mengungkapkan bahwa penyu menyukai daerah dengan kemiringan
30º untuk bertelur. Kemiringan Pantai Pangumbahan dalam Segara (2008) pada
Musim Timur dan Musim Barat masih berada pada kisaran normal, sesuai dengan
kesesuaian tempat peneluran penyu pada umumnya. Kemiringan pantai sangat
berpengaruh pada aksesbilitas penyu untuk mencapai daerah yang sesuai untuk
bertelur. Semakin curam pantai maka akan semakin besar pula energi penyu yang
diperlukan untuk naik dan bertelur.
Berdasarkan hasil
relokasi telur penyu yang di lakukan pada kegiatan Praktek Kerja lapangan di
Pulau Sangalaki diperoleh data sebagai berikut dalam bentuk grafik :
Gambar 9. Grafik
persentase jumlah relokasi telur penyu
Dari
keseluruhan jumlah penyu yang mendarat pada pulau sangalaki persentase
bertelurnya lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak bertelur adapun jumlah
telur yang penyu adalah sebanyak 7.748 yang direlokasi dengan persentase 80,99%
= 7.628 sedangkan yang tidak direlokasi atau pecah persentasenya 1,1%=120 telur
penyu. Dalam melakukan pecarian sarang dan penggalian lubang sarang penyu harus
dengan penuh kehati-hatian karena dapat mengakibatkan telur penyu tersebut
pecah. Telur penyu yang peah tersebut kebanyakan akibat dari tusukan dari stik
dan juga terkena jari tangan sarang menggali lubang sarang. Sebenarnya polulasi
penyu yang datang bertelur di Pulau Sangalaki mengalami penurunan dari tahun ke
tahun akibat dari perburuan dari manusia dan juga pemanasan global sehingga
tingginya permukaan air laut mengakibatkan habitat penuluruan setiap tahunnya
berkurang.
Berikut juga
diungkapkan bahwa penurunan populasi jumlah penyu yang mendarat di Pulau Sangalaki
sangat signifikan terjadi Menurut Adnyana dkk. (2007), total pendaratan dan
peneluran di Sangalaki per bulan berturut-turut adalah antara 160 – 1.166 (rata-rata ± SD = 584 ± 234.5) dan 93
– 812 (354 ± 153), dengan aktivitas peneluran tertinggi antara Mei – Oktober
dan aktivitas peneluran terendah antara bulan Nopember – April. Populasi
pendaratan ini jauh menurun apabila dibandingkan dengan perkiraan total
pendaratan penyu di Sangalaki pada tahun 1950-an dan 1970-an (Lindsay dan
Watson dalam Adnyana dkk. (2007), yaitu 200 dan 150 ekor
penyu per malam. Sementara sensus yang dilakukan oleh sebuah operator selam
Sangalaki antara bulan April 1993 sampai bulan Juli 1994 mendapatkan populasi
pendaratan penyu per malam yang lebih sedikit (39 ± 9.4) (G.F. Taylor dalam Tomascik dkk., 1997).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil
kegiatan Praktek Kerja Lapangan Di Taman
Wisata Alam Pulau Sangalaki dapat disimpulkan bahwa sebgai berikut : :
1. Habitat peneluruan Penyu hijau (Chelonia Mydas) adalah sebagai berikut pada kondisi pantai yang landai, luas dan
belum terjamah oleh manusia atau tidak adanya gangguan dari manusia, Penetasan
telur semi alami Di Pulau Sangalaki dilakukan dengan cara memindahkan telur
penyu dari tempat alami ke sarang buatan.
2. Teknik
pelestarian penyu hijau (Chelonia Mydas) yang dilakukan di TWA Pulau Sangalaki
adalah dengan cara melakukan pencarian,
pemantau pendaratan penyu, memindahkan telur alami kelokasi sarang semi
alami, penetasantelur semi alami, pelepasan tukik yang baru menetas
3. Hambatan
yang di alami pada pelestarian penyu adalah kurang kesadaran masyrakat terhadap
pelestarian penyu di TWA Pulau Sangalaki sehingga masih banyak terjadinya
seperti pencurian telur dan perdagangan sisik penyu untuk menjadi souvenir
5.2
Saran
Hal yang
diharapkan untuk pengelolaan penyu di
Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki yang
dilakukan oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur
khususnya Seksi Wilayah Berau untuk memperhatikan setiap sampah ataupun batang
pohon sebagai pengahalang penyu mendarat ataupun bertelur untuk segera
dibersihkan dengan memiliki jadwal pembersihan pulau oleh petugas sehingga
sampah ataupun batang pohon berkurang untuk memudahkan penyu bertelur dan
mendarat dengan menyediakan banyak tempat pembuangan sampah (Tong sampah) pada
daerah yang sering dikunjungi para wisatawan sehingga para wisatawan tidak
membuang sampah sembarangan.
Untuk kedepannya
pada pengelolaan kawasan konservasi Taman Wisata Alam pulau Sangalaki adalah melibatkan
masyarakat didaerah Kepulauan Derawan dan sekitarnya dalam upaya peletarian
penyu sehingga masyarakat paham tentang
pentingnya kelestarian penyu, dan membekali masyarakat keahlian khususnya dalam
bidang perikanan misalnya pengolahan ikan menjadi amplang sehingga apabila
masyarakat telah memiliki pendapatan yang cukup maka hal ini dalam
meminimalisir terjadi pemanfaatan sisik untuk dijadikan souvenir ataupun
penjualan telur penyu. Terlebih lagi untuk menindak tegas pelaku pencurian
telur ataupun penangkapan penyu sehingga ada efek jera bagi pelakunya dan tidak
mengulang perbuatannya. untuk mahasiswa perlunya persiapan yang matang sebelum
melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapangan sehingga pada saat melakukan kegiatan
dilapangan tersetruktur dengan benar dan data yang diambil sesuai dengan
prosudure kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana,
I.B.W. 2003. Penyu Laut di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Laporan untuk
WWF Indonesia.
Alfian,
1989. Analisis Keberhasilaan Penetasan
Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi-Alami di Pantai
Pangumbuhan, Kabupaten Sukabumi.Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Bowen, B.W., and S.A. Karl. 1997.
Population genetics, phylogeography, and moleculer evolution. p.29-50, in: P.L.
Lutz and J. Musick (Editors). The Biology of Sea Turtles. RC Press. Boca Raton,
Florida.
Bustard, R. 1972. Sea
Turtles,Natural History and Conservation. Taplinger Publishing Company, New York. 220 p.
Bustard, R. H. 1972. Sea Turtle
:Natural History and Conservation. Collins, Press Inc.Sidney
Dermawan, A. 2009.Pedoman Teknis
Pengelolaan Konservasi Penyu. Direktorat Konservasi dan TamanNasional Laut,
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen
Kelautan dan Perikanan RI.Jakarta
Dharmadi, N., N. Wiadnyana. 2008. Kondisi Habitat
dan Kaitannya dengan Jumlah Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang Bersarang di
Pulau Derawan Berau-Kalimantan Timur. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Vol 14:
19-204
Direktorat Konservasi &Taman
nasional Laut, 2009,Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habibatnya,
Departemen Kelautan dan Perikanan,Jakarta
DKP.
2009. Buku pedoman Konservasi
dan Pengelolaan Penyu, Workshop Konservasi dan Pengelolaan Penyu, 23 Januari
2009 Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K)
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Direktorat Jenderal Pengelolaan
Hutan dan Konservasi Sumberdaya Alam (PHKA) Departemen Kehutanan RI, Jember,
Jawa Timur.
Eckert,
K. L. 1995.
Draft General Guidelines
and Criteria for Management
of Threatened and Endangered Marine Turtles
in the Wider
Caribbean Region. UNEP (OCA)/CAR WG.19/ INF.7. Prepared by WIDECAST for the 3rd
Meeting of the
Interim Scientific and
Technical Advisory Committee to the SPAW Protocol.Kingston, 11-13
October 1995. United Nations Environment Programme, Kingston. 95 pp
Harless,
M. and H..Morlock. 1979. Turtle Perspectives and Research. John Wiley &
Sons. New York.
Harteti
S. 2013. Analisis kinerja konservasi penyu di kawasan konservasi[disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Herdiawan,
I. 2003. Analisis Habitat Penyu Hijau, Chelonia mydas, Linneaus Di Pantai
Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi. Tesis. Program Studi Imlu Kelautan. Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77 hlm.
Hirth
HF. 1971. Synopsis of Biological Data on the Green Turtle,
(Cheloniamydas,Linnaeus 1758). Rome : FAO Fish. Synop. (85). 69 hal
Limpus, C.J.1997 Populasi Penyu Asia Tenggara dan
Wilayah Pasifik Barat : Penyebaran dan statusnya, Makalah Seminar Penelitian
dan pengelolaan Penyu Indonesia, Jember- Indonesia
Lindsay.Watson.
Adnyana 2007, Biologi Konservasi. Jakarta : Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Lindsay.Watson.Adnyana 2007. Status of green turtle (Chelonia mydas) nesting and foraging
populations of Berau, East Kalimantan, Indonesia, including result from tagging
and telemetry. Indian Ocean Turtle Newsletter.
Miller,
J.D. 1997. Reproduction In Sea Turtle. P 51-71. In: The Biology of Sea Turtle.
Ed P.L. Lutz and J. A. Musick. CRC Press, Boca Raton, Florida
Moll
1979. Bioekologi Penyu Laut. Bogor:
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Musrifin,
2011. Buku Panduan Pasang Surut Laut. LIPI, Jakarta-Indonesia
Natih NMN 1989. Tingkah Laku
Bertelur dan Konservasi Penyu Hijau, Chelonia mydas L. di Pantai Sindangkerta,
Propinsi jawa Barat. Bogor: Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB.
Nuitja
1985 Inkubasi dan Keberhasilan Penetasan
dalam Inkubasi Buatan terhadap Telur Penyu Daging, Chelonia mydas L. Bogor:
Fakultas Perikanan, IPB.
Nuitja,
1985. Studi Ekologi Peneluran Penyu
Daging, Chelonia mydas L. di Pantai Sukamade, Kbupaten Bayuwangi. Bogor:
Fakultas Perikanan, IPB.
Nuitja,INS,
1992, Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut Institut Pertanian Bogor Press, Bogor
Prichard, P. C. 1999. Galapa gos Sea
Turtle - preliminary Finding. J. Herpetology. 5:1-9.
Prihanta,W,2007.Problematika
Kegiatan Konservasi Penyu di Taman Nasional Meru Beriti, Laporan Penelitian
Pengembangan IPTEK Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah, Malang
Rebel,
T.P. 1974. Sea Turtles and Turtle Industry of The Western Indies, Florida and
Mexico. University of Miami Press. Coral Gables Florida. 250 p.
Spotila, J.R. 2004. Sea turtle : a complete guide to
their biology, behaviour, and conservation. The Johns Hopkins University Press.
Spotila, J.R. 2004. Sea Turtles: A Complete Guide to
Their Biology, Behavior and Conservation. Vol I.The Johns Hopkins University
Press, Baltimore, Maryland, London.227 p.
Takeuchi, H. 1983. Penyu Hijau (Terjemahan
Arifiana). PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. 32 hlm
Taylor.G.F,
Tomascik 1997. Pengaruh Kedalaman Sarang dan
Susunan Telur Terhadap Persentase Tetas Telur Penyu Hijau di Pulau Sangalaki.
WWF-Indonesia
Tomascik T., AS. mah dan AMK. Moosa. 1997. The
Ecology of Indonesian Seas, Part II. Singapore: Periplus Editions (Hk) Ltd.
Tomascik, J. A.J. Mah, A. Nontji,
and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of Indonesian Seas.Part Two, vol VIII,
Chapter 21. Periplus Edition. pp 1101-1131
LAMPIRAN
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar monitoring pagi hari
Lampiran 2.Gambar Penggalian Sarang Alami Telur
Penyu
Lampiran 3 Gambar Memasukkan Telur Ke Wadah Untuk
Dipindahkan
Lampiran 4. Gambar Pemidahan telur ke sarang semi
alami
Lampiran 5. Gambar Telur penyu yang dipindahkan
Lampiran 6 Gambar Pelepasan tukik
Lampiran 7. Gambar
Predator telur penyu
Lampiran 8 Gambar
Telur yang baru mentas menjadi tukik
Gambar 9.
Pembersihan sampah di Pantai
Gambar 10.
Bersama pembimbing lapangan
Gambar 11.
Bersama Pengujung Pulau Sangalaki
Gambar 12. Pelayan pengujung
Lampiran 13. Gambar bersama
kepala Seksi KW I Berau
Lampiran
14. Gambar bersama kepala Balai dan Staff BKSDA KALTIM
Good job, cuman judul berulang
BalasHapusGood job, cuman judul berulang
BalasHapus